Senin, 07 April 2014

Caffe Mocca ( Flash Fiction )




 

Hati Shanaz hari ini berbunga-bunga.  Inboks  dari seseorang membuatnya terbang melayang.

“Kita ketemu ya, malam ini di Caffe Mocca.” begitu isi pesannya.

Shanaz tersenyum-senyum membacanya. Rommy, cowok yang dikenalnya tiga bulan belakangan ini lewat facebook.  Dilihat dari foto profilnya sih, orangnya ganteng. Mirip artis Adipati Dolken. Ramah, dan selalu menjadi di tempat curhat Shanaz. Shanaz merasa nyaman dengan Rommy. Apalagi ketika dia putus dengan kekasihnya  Vino, Rommy adalah orang pertama yang mendengar segala keluh kesah Shanaz.

Waktu menunjukkan pukul  tujuh malam. Shanaz  mematut dirinya di cermin.  Rambut di urai, bibir dipoles lipstik pink dengan gaun warna krem muda.

“Aku mau kamu memakai gaun warna krem, agar aku bisa mengenalmu.”begitu pesan Rommy.

Cafe begitu ramai. Shanaz celingukan.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Shanaz menoleh. Seorang pelayan cafe menyapanya.

“Oh, saya pesan meja ya, dekat..”

“Dekat water fountain?Kebetulan kosong.” Jawab pelayan tersebut.

“Oya?? Bagus kalau begitu! Itu tempat kesukaanku.”

Pelayan tersebut tersenyum dan mengantar Shanaz ke meja dekat water fountain.

“Mas, saya pesan..”

“Cappuccino Mocca Float?”

Shanaz terhenyak. “Wow! Kok tahu kopi kesukaan saya?”

Pelayan tersebut  kembali tersenyum dan berlalu.

Shanaz merapikan rambutnya, gaunnya, tempat duduknya. Tapi..mana Rommy? Sudah satu jam Shanaz menunggu dengan gelisah. Apakah dia mempermainkanku? Tega banget sih dia??

“Shanaz!”

Ah, itu pasti Rommy... Shanaz memutar tubuhnya dan wajahnya pucat.

“Ayo, pulang! Kamu pasti mau bertemu lelaki itu kan?! Yang kamu kenal lewat facebook? Dia penipu Naz! Dia penjahat! Foto profilnya palsu!”

“Papa..”

“Ayo, pulang! “Papa menarik tangan Shanaz.



Shanaz terhuyung. Masih  tak percaya. Rommy penipu? Selama ini dia menipuku? Cowok yang selalu mendengar curhatanku, memberi nasehat dan semangat ternyata dia penipu?

Secangkir cappuccino mocca float masih mengepul hangat di atas meja kosong dekat water fountain. Sesosok pria tampan, dengan wajah mendung mirip Adipati Dolken duduk membelakangi meja tersebut, sejam yang lalu dia menunggu,menunggu saat  yang tepat. Namun hatinya ragu. Dia menyeruput sisa kopinya sampai habis dan pergi berlalu diikuti tatapan seorang pelayan pria yang tersenyum puas..






Rindu Emak







Angin sepoi sepoi berhembus perlahan, membawa terbang setangkai bunga kamboja. Bunga kamboja berwana putih meliuk ke kanan dan ke kiri mengikuti ke mana angin membawanya pergi. Begitu angin bosan mempermainkannya, bunga itu jatuh tepat di kaki seorang wanita tua yang tersenyum, lalu memungut bunga itu, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik.

Cuaca begitu panas terik membuat tubuh Emak cepat lelah. Sekantung plastik sudah penuh dengan bunga kamboja yang dikumpulkannya sedari pagi bersama anak semata wayangnya Mamat. Bunga Kamboja itu akan dijualnya ke penadah bunga untuk dijadikan bahan kosmetik atau parfum. Satu kantung kresek bunga dihargai 25 ribu rupiah. Harus cukup  untuk makan hari ini.

            “Mat, sudah siang nih, pulang yuk,” ajak Emak

Mamat tak memperdulikan panggilan Emaknya. Bocah berusia 10 tahun itu asyik mengorek-orek sarang semut yang berada di atas makam tua dan membuat semut-semut lari berhamburan keluar. Andaikan semut itu bisa bicara pasti mereka sedang memaki-maki raksasa yang mengobrak-abrik rumah mereka.

“Mat, ayo pulang.” Kali ini tangan Emak memegang tangan anak itu dan menariknya menjauhi sarang itu.

“GAAKK MAUUU..”

“Mamat gak lapar? Emak mau masak telor pakai sambel lho!”

Mamat menoleh dan tersenyum lebar, memperlihatkan sederet gigi yang berbaris tak beraturan. Mamat berdiri dan melompat-lompat seperti anak kecil yang baru dapat hadiah.

“LAPAAARR...MAKAAANN...” jawabnya riang. 

Emak tertawa. Mamat...Mamat...

Mereka berdua berjalan melewati pemakaman yang berjejer rapi, melewati Mang Ujang, si penjaga makam yang sedang asyik mendengarkan radio butut kesayangannya di saung sederhana  miliknya.

“Sudah, selesai Mak?” tanya lelaki itu.

“Udah Mang Ujang, hayu atuh Mang.” Emak memperlihatkan kantung kreseknya yang sudah penuh.

Sebelum pulang, Emak dan Mamat mampir ke tempat penadah bunga dan alhamdulillah, uang Rp.25.000 sudah di tangan. Sambil menggandeng Mamat, Emak bergegas menuju warung Teh Susi yang berada tak jauh dari gubuknya yang sederhana.

Sampai di rumah, Emak mengeluarkan 4 butir telur, kacang panjang, cabe rawit dan setengah kilo beras. Emak bersyukur mempunyai tetangga seperti Teh Susi yang berbaik hati mau menambahkan tahu lima potong untuknya.

“LAPAARR...” Mamat menarik-narik baju emaknya.

“Sok atuh, Mamat bantu Emak, biar cepet masaknya.”ujar Emak sambil menyodorkan kacang panjang dan pisau.

“Dipotong seperti ini ya,”Emak memberi contoh cara memotong kacang panjang.

Mamat mengangguk-angguk mengerti dan pelan-pelan mulai memotong kacang panjang.

Emak kembali melanjutkan mengupas telur yang ia rebus. Minyak goreng sisa kemarin hanya cukup untuk menumis kacang panjang. Emak mengecek nasi di dandang. Asap mengepul memenuhi dapur yang sempit dan pengap. 

“MAAAKKKK...”

Mak menoleh, Mamat menyelipkan kacang panjang ke dalam hidungnya dan membuat gerakan-gerakan lucu. Emak tertawa terbahak.

“Ihhh...Mamaaat, udah ah, becandanya!” Mak mencabut kacang panjang itu dari hidung Mamat. Mamat menyeringai lebar 

Mamat memang penghibur bagi Emak. Di tengah kesendiriannya ditinggal almarhum suaminya dan anak-anaknya yang merantau entah kemana tanpa kabar berita, kehadiran Mamat sangat menghibur hatinya. Walaupun Mamat berbeda dari anak-anak lainnya, Emak sangat menyayangi Mamat seperti anaknya sendiri. Mamat ditemukan Emak ketika berumur 4 tahun di sebuah pinggir jalan, sedang menangis ketakutan. Seorang pedagang asongan melihat seorang perempuan muda meninggalkan Mamat sendirian. Emak tak tega melihat anak itu sendirian di jalanan. Emak membawa Mamat pulang, memandikannya dan memberinya makan. Anehnya Mamat mau saja dibawa Emak dan sejak itu Mamat tak pernah menangis lagi.

Telur rebus, oseng kacang panjang, tahu goreng dan sambal sudah tersedia. Mamat duduk bersila di lantai dan makan dengan lahapnya.

“Jangan buru-buru makannya,Mat...ntar keselek.”Emak mengingatkan.

“EENYAAKKK..” sahut Mamat. Mulutnya penuh dengan nasi. 

Makan siang hari ini terasa nikmat buat Emak dan Mamat. Emak menyimpan sisa makanan untuk malam nanti, lalu duduk di lantai sambil mengurut kakinya yang terasa pegal. Di usia yang menginjak 65 tahun dirinya merasa jadi cepat lelah dan mudah sakit-sakitan. 

“Mat, sini. Pijitin kaki Emak ya.”

Matahari mulai tenggelam, menyisakan langit gelap yang dihiasi bintang-bintang. Emak duduk di bale-bale sambil memejamkan mata dan menikmati pijitan Mamat di kakinya.

“Pijatannya enak. Nanti kamu jadi tukang pijat saja, Mat.” ujar Emak.
Mamat tidak menjawab. Dia asyik memijat kaki Emak. Kadang dia tidak mengerti apa maksud ucapan Emak. Namun, satu hal yang dia mengerti, Emak menyayanginya, dan dia juga menyayangi Emak, melebihi apapun di dunia ini.

Tiba-tiba Emak terbatuk batuk. Emak memegang dadanya. Sakit dan terasa sesak sekali. Sudah dua minggu Emak merasakan sakit dan sesak di dadanya, tapi Emak tidak memperdulikannya. Biasanya dengan obat gosok yang dibelinya di warung, sakitnya berkurang. Tapi kali ini..

“Duuuhhh....Mamaat..sakiitt” Emak mengerang kesakitan dan terjatuh dari bale-bale tak sadarkan diri.

Mamat terkejut dan memandang tubuh Emak yang tergeletak di lantai. Kenapa Mak bobo di lantai? Pikir Mamat tak mengerti. 

“MAAAKKK...” Mamat memegang tubuh Emak dan menggoyang-goyangkannya.
Emak tetap diam. Tak bergeming.

Mamat bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Lama Mamat duduk di lantai, dekat Emak,  sambil terus memijat tubuh Emak.

“Astaghfirullaaahhh...Emaaakkk.” jerit Teh Susi. Rantang berisi gorengan yang akan diberikan untuk Emakpun jatuh menimbulkan suara kelontang yang keras.

Tergopoh-gopoh Teh Susi menghampiri Emak, menempelkan telinganya di dada wanita tua itu, dan memegang urat nadi Mak yang membiru. Tiga tahun pernah bekerja sebagai perawat tak membuatnya lupa bagaimana memberikan pertolongan pertama pada pasien yang kritis. Namun akhirnya, isak tangis tertahan keluar dari mulutnya.

“Emak udah gak ada Mat...” Teh Susi memandang Mamat haru. Air mata membasahi pipinya.
Mamat hanya memandang Teh Susi  tak mengerti. Emak gak ada?Ada kok...lagi bobo kan?

“MAMAAAKKK..” telunjuknya menekan-nekan tubuh Emak.

Teh Susi memegang tangan Mamat .

“Mat, liat Teh Susi. Emak udah meninggaaal...”

Mamat memandang Teh Susi dengan mulut terbuka. Matanya yang sipit mencoba membaca raut wajah Teh Susi, dan kembali memandang Emak yang masih terdiam di lantai. Mamat bingung dengan keadaan ini. Tapi mengapa hatinya begitu sakit? Mengapa dadanya begitu sesak seolah sulit untuk bernafas? Mamat merasakan pedih tak terkira. Rasa yang membuat Mamat ingin menangis.

Dan Mamatpun menangis kencang...menangis pilu...


                Dua bulan kemudian....
“Mat, udah malem...pulang yuk.” 

            Mamat menyeringai lebar. 

“MAMAAKK...” ucapnya riang dan menoleh. Namun seringai itu langsung hilang. Bukan Emak yang memanggilnya, tapi Mang Ujang. Lelaki  itu berdiri di depan Mamat, di depan makam Emak. Mang Ujang menghela napas panjang. Sudah hampir dua bulan Emak meninggal, anak itu masih tetap duduk dan tidur di samping makam Emaknya. Sudah berbagai cara dilakukan Teh Susi dan Mang Ujang untuk membujuk bahkan memaksa anak itu agar mau tinggal bersama mereka. Namun Mamat tetap kembali ke makam Emaknya. 

Perilaku Mamat banyak mengundang iba para peziarah yang berkunjung ke tempat  pemakaman itu. Beberapa dari peziarah memberinya uang, makanan bahkan mainan untuk Mamat. Tapi bagi Mamat semua itu tidak menarik perhatiannya. Mamat hanya ingin Emak. Emak yang keluar dari dalam tanah dan membawanya pulang ke gubuk reyot mereka.

Makin lama kesehatan Mamat makin memburuk dan dengan paksaan Teh Susi, Mamat akhirnya dibawa ke klinik dekat TPU.

“Mamat harus di dibawa ke rumah sakit Teh, harus di opname.” kata dokter klinik sambil memeriksa Mamat yang tertidur lelap.

“Besok saya akan bawa ke rumah sakit, Dok. Tapi tolong ya, Mamat boleh tidur di sini dulu semalam. Kasihan dia selalu tidur di kuburan Emaknya.”

“Jangan khawatir, Mamat boleh tidur di sini. Ada penjaga klinik kok, yang akan menginap malam hari ini.”

Teh Susi menatap wajah tirus Mamat yang terlelap karena pengaruh obat tidur. Opname? Dari mana biayanya? Sudah beberapa hari ini warungnya sepi pembeli. Teh Susi merapikan selimut Mamat dan keluar ruangan. Tak boleh putus harapan...semoga ada tetangga yang mau menyumbang untuk biaya berobat Mamat.

Suara ayam berkokok nyaring. Hujan tadi malam membuat langit pagi begitu mendung. Mata Mamat terbuka perlahan. Tubuhnya terasa lemas sekali. Namun Mamat memaksakan diri untuk bangun dan berjalan perlahan mendekati pintu.

Suara tv di ruang tunggu klinik masih terdengar. Diiringi  deru napas penjaga klinik yang masih terlelap di kursi dengan sarung yang menyelimuti tubuhnya. Mamat membuka pintu perlahan. Udara dingin pagi menerpa tubuh, membuat dada Mamat terasa sakit. Mamat berjalan dengan sisa tenaganya keluar, menuju makam Emak.

 Tertatih - tatih  Mamat berjalan menuju TPU. Jalan masih sepi, lengang berselimut kabut. Nafas Mamat memburu, tanpa alas kaki, Mamat berjalan menembus dinginnya pagi, menghampiri dan akhirnya terduduk di makam Emak. Mamat merasa lelah dan merebahkan tubuhnya di atas pusara Emak yang basah terkena hujan.

“MAMAAAKKK...” Mamat menangis melengking pilu. Rasa sakit di tubuhnya tak tertahankan. Seakan beribu jarum menghujam jantungnya. Mamat sangat rindu Emak...Mamat ingin ketemu Emak...

“Mat,  pulang yuk,”

             Mamat berhenti menangis.

“MAAK?”

Mamat terpana . Halusinasikah atau nyata? Wajah Mamat berseri senang. Matanya berbinar. Emak berdiri di hadapannya, dengan senyum tersungging di bibirnya. Sakit di tubuhnya hilang. Yang terasa hanyalah bahagia yang menggelegak di dada. 

“Yuk, kita pulang, Nak. “ Emak membentangkan tangannya.

“MAMAAAKKK...” Mamat berlari ke arah Emak. Tak peduli dengan suara tangis Mang Ujang, suara tangis Teh Susi, suara ribut orang-orang, Mamat tak peduli. Karena dirinya sudah berada di tempat yang dirindukannya selama ini...dalam pelukan Emak..

Mang Ujang mengusap wajah Mamat yang terbaring di atas pusara Emak, wajahnya begitu damai, seperti orang tertidur. Tak henti-hentinya Mang Ujang menyeka air mata yang membasahi wajahnya.

“Cinta dan rindu yang membuatmu begini Mat, semoga kamu bahagia di sana bersama Emakmu ya,”

Angin bertiup kencang, menerpa sekuntum bunga kamboja putih dari pohonnya. Bunga terbang terbawa angin, meliuk liuk, ke sana ke mari, terbang semakin tinggi, menuju awan....

Menuju Sang Pemilik Jiwa...

Sabtu, 07 Desember 2013

Refrain The Serries Part 1: Coming Home

Bandara Soekarno Hatta terlihat begitu ramai. Niki sekali lagi melirik jam tangannya. Pukul 3 sore... Sudah 2 jam Niki menunggu. Menunggu seorang sahabat...mmm....pacar sih..... Niki jadi tersenyum sendiri. Nata...sahabatnya dari kecil. Cowok jutek, cuek, gak romantis sekarang sudah jadi pacarnya. Perjalanannya ke Austria, mencari Nata,  akhirnya membuat mereka berdua sadar, kalau mereka saling memiliki dan tidak bisa dipisahkan lagi.

Niki berdiri mencari -cari  sosok yang lama dirindukannya. 

Niki mulai gelisah. Nata kan  kuliahnya sudah selesai? dan hari ini akan pulang. Kalau di cancel, pasti Nata akan kasih kabar...

"Segitunya ya lo kangen sama gue."
Niki menoleh..
"Nataaaa..!" Niki menghambur, memeluk Nata erat. Nata kaget dan akhirnya tersenyum bahagia. Bukan pelukan seorang sahabat yang ia rasakan, tapi pelukan seorang kekasih.

"Udaaahh meluknya..malu, banyak orang.." ujar Nata risi.
"Aku kangeeen Naat.."
Niki melepas pelukannya. Rasa rindu terpancar di wajahnya. Nata sudah banyak berubah. Semakin matang dan dewasa.  Rambutnya dipotong rapi dan sedikit berkumis. 
"Capek ya? Sini aku bawain tasnya." Niki mengambil koper yang dibawa Nata dan mulai melangkah keluar.
"Eiittt...tunggu dulu!" Nata menahan lengan Niki.
Niki menoleh. "Ada apa lagi Nat? Ayo, kita pulang. Aku sampe lumutan nunggu kamu di sini."
Nata menatap Niki , menyentuh tangan Niki dan menggenggamnya erat. 
"Gue juga kangen sama lo Nik." 
Niki tersenyum malu.

Mobil Niki melaju cukup kencang. Nata mencoba mengatur ritme jantungnya yang dag-dig-dug. Nata memandang Niki yang asyik bernyanyi sambil memegang kemudi. Niki...makin....cantik...lebih mature...rambutnya panjang dan hitam membuat Nata ingin membelainya. Pipinya makin berisi dan merona. Pulasan lipstik merah di bibirnya membuat Nata ingin....ahhh..Nata menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran-pikiran itu di kepalanya.

Niki tiba-tiba membuka kaca jendela mobil, mengeluarkan sebagian kepalanya.
"Woooiiiii...! Nata sudah pulaangg! Pacarku pulaaangg..!" teriaknya lantang.
Nata kaget setengah mati. cepat-cepat  ditariknya tubuh Niki ke dalam mobil.
"Apaan sih Nik! Bahaya tau."ujar Nata cemas.
Niki nyengir.
"Masih tetep..norak.." Nata menggumam..
"Norak, tapi sayang sama aku kaaann?..hayoo.."goda Niki sambil mengedipkan mata.
Nata tergelak dan mengacak-ngacak rambut Niki. "Geer.."
"Biarin." balas Niki.

Sore itu hujan gerimis. Namun tak membuat Nata urung untuk keluar dari mobil dan  menatap lama rumah bercat putih yang sudah lama ia tinggalkan selama 5 tahun. Masih tetap sama, tapi ada sesuatu yang hilang.

"Trampolin kita mana Nik?"
Niki yang sibuk mengeluarkan tas dan  koper Nata berhenti sejenak.
"Sejak kamu pergi, aku sibuk kuliah dan akhirnya bekerja, trampolin itu nganggur. Papamu akhirnya memindahkan dan menyimpan trampolin itu di garasi."
Nata mengangguk.
"Sekarang kan gue udah pulang. Kita udah bersama lagi, Nik"

Mereka berpandangan.

"Aku kangen trampolin kita." kata Nata.
"Aku juga kangen istana kita..."balas Niki.

Mereka berdua tersenyum seolah dapat membaca pikiran masing-masing. Mereka berdua berlari berkejaran menuju garasi. Nata membuka garasi dan matanya berkeliling mencari sesuatu yang lama dirindukannya.

"Trampolinku!" seru Nata.

Dibantu Niki, mereka menggotong trampolin biru yang sudah berdebu dan menaruhnya di tempat biasa.
Nata membuka sepatunya dan naik ke atas trampolin.
"Sini Nik,"Nata mengulurkan tangannya ke arah Niki.
Niki memandang Nata ragu.
"Nat, kita udah 22 tahun.."
"Ya, trus kenapa?" Nata mulai meloncat-loncat di atas trampolin. "Ayolah, kita bernostalgia sebentar..kamu gak kangen meloncat-loncat kayak gini lagi? Dulu kamu paling berani kan loncat paling tinggi?"
"Dan kamu berteriak ketakutan. Takut aku jatuh."jawab Niki.
Nata tertawa. Matanya terpejam menikmati masa-masa indah ketika SMU bersama trampolin ini, dan ketika bersama Niki.
Melihat itu, Niki jadi tak tahan. Niki membuka high heelsnya dan naik ke atas trampolin. Trampolin itu terlihat makin kecil diisi dua anak muda yang sudah dewasa. Niki memegang tangan Nata erat ketika trampolin itu mulai bergoyang. Sudah lama sekali Niki tidak bermain trampolin.
Nata terbahak melihat Niki menjerit ketika tubuhnya mulai memantul. Mereka berdua tertawa bersama di bawah rintik gerimis hujan.

"Nataa...! Duh...pulang dari Austria bukannya nemuin Mama sama Papa, malah main trampolin!"

Nata menoleh. Mamanya sudah berdiri di teras rumah, disusul Papa, Kak Dany dan Anna.

Nata meloncat turun dari trampolin dan berlari menuju Mama Papa. Nata mencium tangan 
dan memeluk mereka satu persatu.

"Kamu lebih kangen sama trampolin bututmu ya, daripada sama Mama? Hah?" Mama cemberut.

Nata cuma nyengir. " Sorry Ma..hehe.."

Kak Dany menepuk bahu Nata dan memeluknya erat. "Welcome home bro!"

Nata tersenyum. Matanya beralih ke Anna. Gadis berdarah Indo yang sekarang sudah jadi pacarnya Kak Danny makin mempesona seperti model. Tubuhnya makin tinggi, putih dan langsing. Rambutnya dipotong pendek memperlihatkan lehernya yang mulus dan jenjang.

"Hai, apa kabar?" Anna menyalami Nata antusias.

"Aku baik An, kamu makin cantik aja..."

Pipi Anna memerah. "Ah, kamu bisa aja.."

Kak Danny menjitak kepala Nata pelan. "Awas, rayu-rayu pacar Kakak, nanti ada yang ngambek tuh." ujarnya sambil melirik Niki.

Niki melotot. "Apa? Cemburu? Hmm..biasa aja.." Niki melengos masuk ke dalam rumah bersama Mama dan Papa Nata.

Sore itu rumah Nata begitu ramai dan hangat. Nata bahagia sekali. Orang-orang yang dia sayang, semuanya berkumpul menyambut kepulangannya. Niki dan Anna membantu Mama menyiapkan makan malam. Papa, Nata dan Kak Danny duduk di sofa asyik saling  berbagi bercerita. Suara dentingan gelas, suara tawa dan canda menghangatkan suasana rumah itu di tengah gerimisnya hujan..

 To be continued




Kupanggil Dia, Ibu..




 

Seorang bayi yang siap akan dilahirkan di bumi bertanya pada Tuhan.


“Mengapa aku harus ke bumi? Aku ingin disini bersamaMu..”


Lalu Tuhan berkata, “Jangan khawatir, akan ada malaikat  yang menjaga dan menyayangimu di bumi.”


Dan akupun akhirnya dilahirkan...


Aku bersuara menyambut tangan lembut halus yang menggendongku. Inikah malaikatku? Yang diceritakan Tuhan padaku? Sungguh malaikat yang cantik, wangi, dengan kulit putih mulus. Tapi mengapa sentuhannya begitu dingin, hening... tak ada kata-kata lembut penuh keharuan dan suara bisikan azan di telingaku? 


“Ssstt...jangan menangis.” desisnya pelan.


Aku merasakan tubuhku dibungkus kain seadanya.  Hey, mau dibawa kemana aku? Kenapa aku tidak dibersihkan? Tubuhku lengket dan aku kedinginan..

Dia meletakkanku entah dimana. Begitu gelap dan dingin. Sorot mata itu memandang nanar padaku dan akhirnya pergi menjauh, menghilang dalam kegelapan.

Di mana aku? Gelap, dingin...bau..aku takut... Mengapa aku sendiri disini? Mana malaikat yang akan menjagaku? Menyayangiku?


Tuhan..aku tak kuat, aku lemah, aku tak berdaya..bawalah aku kembali bersamaMu..

“Astaghfirullah al aziimmm..! Ya Allah..!”


Siapa itu? Siapa yang menyebut namaMu?


Ku rasakan sentuhan tangan mengangkatku, menyelimutiku dengan kainnya  yang lusuh. Apakah dia kembali? Menyesal karena sudah meninggalkanku seorang diri?

Tapi...ini tangan yang berbeda...Tangan yang kotor dan kasar. Wajah yang menghitam penuh debu, dan sedikit bau....Jauh dari kata cantik..


“Ya Allah, siapa yang tega membuangmu sayang..” 


Hey...dia bersuara! Suaranya begitu lembut, penuh keharuan dan dia memelukku begitu hangat. Aku coba menggapai  wajahnya dengan tanganku. Tapi aku begitu lemah dan kehausan.


Dia menggendongku, membawaku pergi dari tempat gelap itu. Tak henti-hentinya dia memandangku . Bulir-bulir matanya jatuh dipipinya yang mulai keriput.



“Jangan takut sayang...Mak akan menjagamu dan merawatmu..”


Aku mengeluarkan suara tangisan...Tuhan, inikah  malaikatku?..yang akan menjagaku? merawatku? 
Baiklah.. tak peduli dengan tangannya yang kasar, bajunya yang lusuh, rumahnya yang reyot..tak mengapa.  Setidaknya  aku bisa merasakan sebongkah cinta di hatinya. Cinta yang tulus buatku.
Aku berjanji, akan membuatnya bahagia, selalu mendoakannya di saat dia hidup dan saat dia kembali padaMu...


Dan akan kupanggil dia..ibu..