Angin sepoi sepoi berhembus perlahan, membawa terbang setangkai
bunga kamboja. Bunga kamboja berwana putih meliuk ke kanan dan ke kiri
mengikuti ke mana angin membawanya pergi. Begitu angin bosan mempermainkannya,
bunga itu jatuh tepat di kaki seorang wanita tua yang tersenyum, lalu memungut
bunga itu, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik.
Cuaca begitu panas terik membuat tubuh Emak cepat lelah. Sekantung
plastik sudah penuh dengan bunga kamboja yang dikumpulkannya sedari pagi
bersama anak semata wayangnya Mamat. Bunga Kamboja itu akan dijualnya ke
penadah bunga untuk dijadikan bahan kosmetik atau parfum. Satu kantung kresek
bunga dihargai 25 ribu rupiah. Harus cukup
untuk makan hari ini.
Mamat tak memperdulikan panggilan Emaknya. Bocah berusia 10 tahun
itu asyik mengorek-orek sarang semut yang berada di atas makam tua dan membuat
semut-semut lari berhamburan keluar. Andaikan semut itu bisa bicara pasti
mereka sedang memaki-maki raksasa yang mengobrak-abrik rumah mereka.
“Mat, ayo pulang.” Kali ini tangan Emak memegang tangan anak itu
dan menariknya menjauhi sarang itu.
“GAAKK MAUUU..”
“Mamat gak lapar? Emak mau masak telor pakai sambel lho!”
Mamat menoleh dan tersenyum lebar, memperlihatkan sederet gigi yang
berbaris tak beraturan. Mamat berdiri dan melompat-lompat seperti anak kecil
yang baru dapat hadiah.
“LAPAAARR...MAKAAANN...” jawabnya riang.
Emak tertawa. Mamat...Mamat...
Mereka berdua berjalan melewati pemakaman yang berjejer rapi,
melewati Mang Ujang, si penjaga makam yang sedang asyik mendengarkan radio
butut kesayangannya di saung sederhana
miliknya.
“Sudah, selesai Mak?” tanya lelaki itu.
“Udah Mang Ujang, hayu atuh Mang.” Emak memperlihatkan kantung
kreseknya yang sudah penuh.
Sebelum pulang, Emak dan Mamat mampir ke tempat penadah bunga dan
alhamdulillah, uang Rp.25.000 sudah di tangan. Sambil menggandeng Mamat, Emak
bergegas menuju warung Teh Susi yang berada tak jauh dari gubuknya yang
sederhana.
Sampai di rumah, Emak mengeluarkan 4 butir telur, kacang panjang, cabe
rawit dan setengah kilo beras. Emak bersyukur mempunyai tetangga seperti Teh
Susi yang berbaik hati mau menambahkan tahu lima potong untuknya.
“LAPAARR...” Mamat menarik-narik baju emaknya.
“Sok atuh, Mamat bantu Emak, biar cepet masaknya.”ujar Emak sambil
menyodorkan kacang panjang dan pisau.
“Dipotong seperti ini ya,”Emak memberi contoh cara memotong kacang
panjang.
Mamat mengangguk-angguk mengerti dan pelan-pelan mulai memotong
kacang panjang.
Emak kembali melanjutkan mengupas telur yang ia rebus. Minyak
goreng sisa kemarin hanya cukup untuk menumis kacang panjang. Emak mengecek
nasi di dandang. Asap mengepul memenuhi dapur yang sempit dan pengap.
“MAAAKKKK...”
Mak menoleh, Mamat menyelipkan kacang panjang ke dalam hidungnya
dan membuat gerakan-gerakan lucu. Emak tertawa terbahak.
“Ihhh...Mamaaat, udah ah, becandanya!” Mak mencabut kacang panjang
itu dari hidung Mamat. Mamat menyeringai lebar
Mamat memang penghibur bagi Emak. Di tengah kesendiriannya
ditinggal almarhum suaminya dan anak-anaknya yang merantau entah kemana tanpa
kabar berita, kehadiran Mamat sangat menghibur hatinya. Walaupun Mamat berbeda
dari anak-anak lainnya, Emak sangat menyayangi Mamat seperti anaknya sendiri.
Mamat ditemukan Emak ketika berumur 4 tahun di sebuah pinggir jalan, sedang
menangis ketakutan. Seorang pedagang asongan melihat seorang perempuan muda
meninggalkan Mamat sendirian. Emak tak tega melihat anak itu sendirian di
jalanan. Emak membawa Mamat pulang, memandikannya dan memberinya makan. Anehnya
Mamat mau saja dibawa Emak dan sejak itu Mamat tak pernah menangis lagi.
Telur rebus, oseng kacang panjang, tahu goreng dan sambal sudah
tersedia. Mamat duduk bersila di lantai dan makan dengan lahapnya.
“Jangan buru-buru makannya,Mat...ntar keselek.”Emak mengingatkan.
“EENYAAKKK..” sahut Mamat. Mulutnya penuh dengan nasi.
Makan siang hari ini terasa nikmat buat Emak dan Mamat. Emak
menyimpan sisa makanan untuk malam nanti, lalu duduk di lantai sambil mengurut
kakinya yang terasa pegal. Di usia yang menginjak 65 tahun dirinya merasa jadi cepat
lelah dan mudah sakit-sakitan.
“Mat, sini. Pijitin kaki Emak ya.”
Matahari mulai tenggelam, menyisakan langit gelap yang dihiasi
bintang-bintang. Emak duduk di bale-bale sambil memejamkan mata dan menikmati
pijitan Mamat di kakinya.
“Pijatannya enak. Nanti kamu jadi tukang pijat saja, Mat.” ujar
Emak.
Mamat tidak menjawab. Dia asyik memijat kaki Emak. Kadang dia tidak
mengerti apa maksud ucapan Emak. Namun, satu hal yang dia mengerti, Emak
menyayanginya, dan dia juga menyayangi Emak, melebihi apapun di dunia ini.
Tiba-tiba Emak terbatuk batuk. Emak memegang dadanya. Sakit dan
terasa sesak sekali. Sudah dua minggu Emak merasakan sakit dan sesak di
dadanya, tapi Emak tidak memperdulikannya. Biasanya dengan obat gosok yang
dibelinya di warung, sakitnya berkurang. Tapi kali ini..
“Duuuhhh....Mamaat..sakiitt” Emak mengerang kesakitan dan terjatuh
dari bale-bale tak sadarkan diri.
Mamat terkejut dan memandang tubuh Emak yang tergeletak di lantai. Kenapa Mak bobo di lantai? Pikir Mamat
tak mengerti.
“MAAAKKK...” Mamat memegang tubuh Emak dan menggoyang-goyangkannya.
Emak tetap diam. Tak bergeming.
Mamat bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Lama Mamat
duduk di lantai, dekat Emak, sambil
terus memijat tubuh Emak.
“Astaghfirullaaahhh...Emaaakkk.” jerit Teh Susi. Rantang berisi
gorengan yang akan diberikan untuk Emakpun jatuh menimbulkan suara kelontang
yang keras.
Tergopoh-gopoh Teh Susi menghampiri Emak, menempelkan telinganya di
dada wanita tua itu, dan memegang urat nadi Mak yang membiru. Tiga tahun pernah
bekerja sebagai perawat tak membuatnya lupa bagaimana memberikan pertolongan
pertama pada pasien yang kritis. Namun akhirnya, isak tangis tertahan keluar
dari mulutnya.
“Emak udah gak ada Mat...” Teh Susi memandang Mamat haru. Air mata
membasahi pipinya.
Mamat hanya memandang Teh Susi
tak mengerti. Emak gak ada?Ada kok...lagi bobo kan?
“MAMAAAKKK..” telunjuknya menekan-nekan tubuh Emak.
Teh Susi memegang tangan Mamat .
“Mat, liat Teh Susi. Emak udah meninggaaal...”
Mamat memandang Teh Susi dengan mulut terbuka. Matanya yang sipit
mencoba membaca raut wajah Teh Susi, dan kembali memandang Emak yang masih
terdiam di lantai. Mamat bingung dengan keadaan ini. Tapi mengapa hatinya
begitu sakit? Mengapa dadanya begitu sesak seolah sulit untuk bernafas? Mamat
merasakan pedih tak terkira. Rasa yang membuat Mamat ingin menangis.
Dan Mamatpun menangis kencang...menangis pilu...
“Mat, udah malem...pulang yuk.”
“MAMAAKK...” ucapnya riang dan menoleh. Namun seringai itu langsung
hilang. Bukan Emak yang memanggilnya, tapi Mang Ujang. Lelaki itu berdiri di depan Mamat, di depan makam
Emak. Mang Ujang menghela napas panjang. Sudah hampir dua bulan Emak
meninggal, anak itu masih tetap duduk dan tidur di samping makam Emaknya. Sudah
berbagai cara dilakukan Teh Susi dan Mang Ujang untuk membujuk bahkan memaksa
anak itu agar mau tinggal bersama mereka. Namun Mamat tetap kembali ke makam
Emaknya.
Perilaku Mamat banyak mengundang iba para peziarah yang berkunjung
ke tempat pemakaman itu. Beberapa dari
peziarah memberinya uang, makanan bahkan mainan untuk Mamat. Tapi bagi Mamat
semua itu tidak menarik perhatiannya. Mamat hanya ingin Emak. Emak yang keluar
dari dalam tanah dan membawanya pulang ke gubuk reyot mereka.
Makin lama kesehatan Mamat makin memburuk dan dengan paksaan Teh
Susi, Mamat akhirnya dibawa ke klinik dekat TPU.
“Mamat harus di dibawa ke rumah sakit Teh, harus di opname.” kata dokter
klinik sambil memeriksa Mamat yang tertidur lelap.
“Besok saya akan bawa ke rumah sakit, Dok. Tapi tolong ya, Mamat
boleh tidur di sini dulu semalam. Kasihan dia selalu tidur di kuburan Emaknya.”
“Jangan khawatir, Mamat boleh tidur di sini. Ada penjaga klinik kok,
yang akan menginap malam hari ini.”
Teh Susi menatap wajah tirus Mamat yang terlelap karena pengaruh
obat tidur. Opname? Dari mana biayanya? Sudah beberapa hari ini warungnya sepi
pembeli. Teh Susi merapikan selimut Mamat dan keluar ruangan. Tak boleh putus
harapan...semoga ada tetangga yang mau menyumbang untuk biaya berobat Mamat.
Suara ayam berkokok nyaring. Hujan tadi malam membuat langit pagi
begitu mendung. Mata Mamat terbuka perlahan. Tubuhnya terasa lemas sekali.
Namun Mamat memaksakan diri untuk bangun dan berjalan perlahan mendekati pintu.
Suara tv di ruang tunggu klinik masih terdengar. Diiringi deru napas penjaga klinik yang masih terlelap
di kursi dengan sarung yang menyelimuti tubuhnya. Mamat membuka pintu perlahan.
Udara dingin pagi menerpa tubuh, membuat dada Mamat terasa sakit. Mamat berjalan
dengan sisa tenaganya keluar, menuju makam Emak.
Tertatih - tatih Mamat berjalan menuju TPU. Jalan masih sepi,
lengang berselimut kabut. Nafas Mamat memburu, tanpa alas kaki, Mamat berjalan
menembus dinginnya pagi, menghampiri dan akhirnya terduduk di makam Emak. Mamat
merasa lelah dan merebahkan tubuhnya di atas pusara Emak yang basah terkena
hujan.
“MAMAAAKKK...” Mamat menangis melengking pilu. Rasa sakit di
tubuhnya tak tertahankan. Seakan beribu jarum menghujam jantungnya. Mamat
sangat rindu Emak...Mamat ingin ketemu Emak...
“Mat, pulang yuk,”
“MAAK?”
Mamat terpana . Halusinasikah atau nyata? Wajah Mamat berseri
senang. Matanya berbinar. Emak berdiri di hadapannya, dengan senyum tersungging
di bibirnya. Sakit di tubuhnya hilang. Yang terasa hanyalah bahagia yang
menggelegak di dada.
“Yuk, kita pulang, Nak. “ Emak membentangkan tangannya.
“MAMAAAKKK...” Mamat berlari ke arah Emak. Tak peduli dengan suara
tangis Mang Ujang, suara tangis Teh Susi, suara ribut orang-orang, Mamat tak
peduli. Karena dirinya sudah berada di tempat yang dirindukannya selama
ini...dalam pelukan Emak..
Mang Ujang mengusap wajah Mamat yang terbaring di atas pusara Emak,
wajahnya begitu damai, seperti orang tertidur. Tak henti-hentinya Mang Ujang
menyeka air mata yang membasahi wajahnya.
“Cinta dan rindu yang membuatmu begini Mat, semoga kamu bahagia di
sana bersama Emakmu ya,”
Angin bertiup kencang, menerpa sekuntum bunga kamboja putih dari
pohonnya. Bunga terbang terbawa angin, meliuk liuk, ke sana ke mari, terbang
semakin tinggi, menuju awan....
Menuju Sang Pemilik Jiwa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar