Senin, 07 April 2014

Caffe Mocca ( Flash Fiction )




 

Hati Shanaz hari ini berbunga-bunga.  Inboks  dari seseorang membuatnya terbang melayang.

“Kita ketemu ya, malam ini di Caffe Mocca.” begitu isi pesannya.

Shanaz tersenyum-senyum membacanya. Rommy, cowok yang dikenalnya tiga bulan belakangan ini lewat facebook.  Dilihat dari foto profilnya sih, orangnya ganteng. Mirip artis Adipati Dolken. Ramah, dan selalu menjadi di tempat curhat Shanaz. Shanaz merasa nyaman dengan Rommy. Apalagi ketika dia putus dengan kekasihnya  Vino, Rommy adalah orang pertama yang mendengar segala keluh kesah Shanaz.

Waktu menunjukkan pukul  tujuh malam. Shanaz  mematut dirinya di cermin.  Rambut di urai, bibir dipoles lipstik pink dengan gaun warna krem muda.

“Aku mau kamu memakai gaun warna krem, agar aku bisa mengenalmu.”begitu pesan Rommy.

Cafe begitu ramai. Shanaz celingukan.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Shanaz menoleh. Seorang pelayan cafe menyapanya.

“Oh, saya pesan meja ya, dekat..”

“Dekat water fountain?Kebetulan kosong.” Jawab pelayan tersebut.

“Oya?? Bagus kalau begitu! Itu tempat kesukaanku.”

Pelayan tersebut tersenyum dan mengantar Shanaz ke meja dekat water fountain.

“Mas, saya pesan..”

“Cappuccino Mocca Float?”

Shanaz terhenyak. “Wow! Kok tahu kopi kesukaan saya?”

Pelayan tersebut  kembali tersenyum dan berlalu.

Shanaz merapikan rambutnya, gaunnya, tempat duduknya. Tapi..mana Rommy? Sudah satu jam Shanaz menunggu dengan gelisah. Apakah dia mempermainkanku? Tega banget sih dia??

“Shanaz!”

Ah, itu pasti Rommy... Shanaz memutar tubuhnya dan wajahnya pucat.

“Ayo, pulang! Kamu pasti mau bertemu lelaki itu kan?! Yang kamu kenal lewat facebook? Dia penipu Naz! Dia penjahat! Foto profilnya palsu!”

“Papa..”

“Ayo, pulang! “Papa menarik tangan Shanaz.



Shanaz terhuyung. Masih  tak percaya. Rommy penipu? Selama ini dia menipuku? Cowok yang selalu mendengar curhatanku, memberi nasehat dan semangat ternyata dia penipu?

Secangkir cappuccino mocca float masih mengepul hangat di atas meja kosong dekat water fountain. Sesosok pria tampan, dengan wajah mendung mirip Adipati Dolken duduk membelakangi meja tersebut, sejam yang lalu dia menunggu,menunggu saat  yang tepat. Namun hatinya ragu. Dia menyeruput sisa kopinya sampai habis dan pergi berlalu diikuti tatapan seorang pelayan pria yang tersenyum puas..






Rindu Emak







Angin sepoi sepoi berhembus perlahan, membawa terbang setangkai bunga kamboja. Bunga kamboja berwana putih meliuk ke kanan dan ke kiri mengikuti ke mana angin membawanya pergi. Begitu angin bosan mempermainkannya, bunga itu jatuh tepat di kaki seorang wanita tua yang tersenyum, lalu memungut bunga itu, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik.

Cuaca begitu panas terik membuat tubuh Emak cepat lelah. Sekantung plastik sudah penuh dengan bunga kamboja yang dikumpulkannya sedari pagi bersama anak semata wayangnya Mamat. Bunga Kamboja itu akan dijualnya ke penadah bunga untuk dijadikan bahan kosmetik atau parfum. Satu kantung kresek bunga dihargai 25 ribu rupiah. Harus cukup  untuk makan hari ini.

            “Mat, sudah siang nih, pulang yuk,” ajak Emak

Mamat tak memperdulikan panggilan Emaknya. Bocah berusia 10 tahun itu asyik mengorek-orek sarang semut yang berada di atas makam tua dan membuat semut-semut lari berhamburan keluar. Andaikan semut itu bisa bicara pasti mereka sedang memaki-maki raksasa yang mengobrak-abrik rumah mereka.

“Mat, ayo pulang.” Kali ini tangan Emak memegang tangan anak itu dan menariknya menjauhi sarang itu.

“GAAKK MAUUU..”

“Mamat gak lapar? Emak mau masak telor pakai sambel lho!”

Mamat menoleh dan tersenyum lebar, memperlihatkan sederet gigi yang berbaris tak beraturan. Mamat berdiri dan melompat-lompat seperti anak kecil yang baru dapat hadiah.

“LAPAAARR...MAKAAANN...” jawabnya riang. 

Emak tertawa. Mamat...Mamat...

Mereka berdua berjalan melewati pemakaman yang berjejer rapi, melewati Mang Ujang, si penjaga makam yang sedang asyik mendengarkan radio butut kesayangannya di saung sederhana  miliknya.

“Sudah, selesai Mak?” tanya lelaki itu.

“Udah Mang Ujang, hayu atuh Mang.” Emak memperlihatkan kantung kreseknya yang sudah penuh.

Sebelum pulang, Emak dan Mamat mampir ke tempat penadah bunga dan alhamdulillah, uang Rp.25.000 sudah di tangan. Sambil menggandeng Mamat, Emak bergegas menuju warung Teh Susi yang berada tak jauh dari gubuknya yang sederhana.

Sampai di rumah, Emak mengeluarkan 4 butir telur, kacang panjang, cabe rawit dan setengah kilo beras. Emak bersyukur mempunyai tetangga seperti Teh Susi yang berbaik hati mau menambahkan tahu lima potong untuknya.

“LAPAARR...” Mamat menarik-narik baju emaknya.

“Sok atuh, Mamat bantu Emak, biar cepet masaknya.”ujar Emak sambil menyodorkan kacang panjang dan pisau.

“Dipotong seperti ini ya,”Emak memberi contoh cara memotong kacang panjang.

Mamat mengangguk-angguk mengerti dan pelan-pelan mulai memotong kacang panjang.

Emak kembali melanjutkan mengupas telur yang ia rebus. Minyak goreng sisa kemarin hanya cukup untuk menumis kacang panjang. Emak mengecek nasi di dandang. Asap mengepul memenuhi dapur yang sempit dan pengap. 

“MAAAKKKK...”

Mak menoleh, Mamat menyelipkan kacang panjang ke dalam hidungnya dan membuat gerakan-gerakan lucu. Emak tertawa terbahak.

“Ihhh...Mamaaat, udah ah, becandanya!” Mak mencabut kacang panjang itu dari hidung Mamat. Mamat menyeringai lebar 

Mamat memang penghibur bagi Emak. Di tengah kesendiriannya ditinggal almarhum suaminya dan anak-anaknya yang merantau entah kemana tanpa kabar berita, kehadiran Mamat sangat menghibur hatinya. Walaupun Mamat berbeda dari anak-anak lainnya, Emak sangat menyayangi Mamat seperti anaknya sendiri. Mamat ditemukan Emak ketika berumur 4 tahun di sebuah pinggir jalan, sedang menangis ketakutan. Seorang pedagang asongan melihat seorang perempuan muda meninggalkan Mamat sendirian. Emak tak tega melihat anak itu sendirian di jalanan. Emak membawa Mamat pulang, memandikannya dan memberinya makan. Anehnya Mamat mau saja dibawa Emak dan sejak itu Mamat tak pernah menangis lagi.

Telur rebus, oseng kacang panjang, tahu goreng dan sambal sudah tersedia. Mamat duduk bersila di lantai dan makan dengan lahapnya.

“Jangan buru-buru makannya,Mat...ntar keselek.”Emak mengingatkan.

“EENYAAKKK..” sahut Mamat. Mulutnya penuh dengan nasi. 

Makan siang hari ini terasa nikmat buat Emak dan Mamat. Emak menyimpan sisa makanan untuk malam nanti, lalu duduk di lantai sambil mengurut kakinya yang terasa pegal. Di usia yang menginjak 65 tahun dirinya merasa jadi cepat lelah dan mudah sakit-sakitan. 

“Mat, sini. Pijitin kaki Emak ya.”

Matahari mulai tenggelam, menyisakan langit gelap yang dihiasi bintang-bintang. Emak duduk di bale-bale sambil memejamkan mata dan menikmati pijitan Mamat di kakinya.

“Pijatannya enak. Nanti kamu jadi tukang pijat saja, Mat.” ujar Emak.
Mamat tidak menjawab. Dia asyik memijat kaki Emak. Kadang dia tidak mengerti apa maksud ucapan Emak. Namun, satu hal yang dia mengerti, Emak menyayanginya, dan dia juga menyayangi Emak, melebihi apapun di dunia ini.

Tiba-tiba Emak terbatuk batuk. Emak memegang dadanya. Sakit dan terasa sesak sekali. Sudah dua minggu Emak merasakan sakit dan sesak di dadanya, tapi Emak tidak memperdulikannya. Biasanya dengan obat gosok yang dibelinya di warung, sakitnya berkurang. Tapi kali ini..

“Duuuhhh....Mamaat..sakiitt” Emak mengerang kesakitan dan terjatuh dari bale-bale tak sadarkan diri.

Mamat terkejut dan memandang tubuh Emak yang tergeletak di lantai. Kenapa Mak bobo di lantai? Pikir Mamat tak mengerti. 

“MAAAKKK...” Mamat memegang tubuh Emak dan menggoyang-goyangkannya.
Emak tetap diam. Tak bergeming.

Mamat bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Lama Mamat duduk di lantai, dekat Emak,  sambil terus memijat tubuh Emak.

“Astaghfirullaaahhh...Emaaakkk.” jerit Teh Susi. Rantang berisi gorengan yang akan diberikan untuk Emakpun jatuh menimbulkan suara kelontang yang keras.

Tergopoh-gopoh Teh Susi menghampiri Emak, menempelkan telinganya di dada wanita tua itu, dan memegang urat nadi Mak yang membiru. Tiga tahun pernah bekerja sebagai perawat tak membuatnya lupa bagaimana memberikan pertolongan pertama pada pasien yang kritis. Namun akhirnya, isak tangis tertahan keluar dari mulutnya.

“Emak udah gak ada Mat...” Teh Susi memandang Mamat haru. Air mata membasahi pipinya.
Mamat hanya memandang Teh Susi  tak mengerti. Emak gak ada?Ada kok...lagi bobo kan?

“MAMAAAKKK..” telunjuknya menekan-nekan tubuh Emak.

Teh Susi memegang tangan Mamat .

“Mat, liat Teh Susi. Emak udah meninggaaal...”

Mamat memandang Teh Susi dengan mulut terbuka. Matanya yang sipit mencoba membaca raut wajah Teh Susi, dan kembali memandang Emak yang masih terdiam di lantai. Mamat bingung dengan keadaan ini. Tapi mengapa hatinya begitu sakit? Mengapa dadanya begitu sesak seolah sulit untuk bernafas? Mamat merasakan pedih tak terkira. Rasa yang membuat Mamat ingin menangis.

Dan Mamatpun menangis kencang...menangis pilu...


                Dua bulan kemudian....
“Mat, udah malem...pulang yuk.” 

            Mamat menyeringai lebar. 

“MAMAAKK...” ucapnya riang dan menoleh. Namun seringai itu langsung hilang. Bukan Emak yang memanggilnya, tapi Mang Ujang. Lelaki  itu berdiri di depan Mamat, di depan makam Emak. Mang Ujang menghela napas panjang. Sudah hampir dua bulan Emak meninggal, anak itu masih tetap duduk dan tidur di samping makam Emaknya. Sudah berbagai cara dilakukan Teh Susi dan Mang Ujang untuk membujuk bahkan memaksa anak itu agar mau tinggal bersama mereka. Namun Mamat tetap kembali ke makam Emaknya. 

Perilaku Mamat banyak mengundang iba para peziarah yang berkunjung ke tempat  pemakaman itu. Beberapa dari peziarah memberinya uang, makanan bahkan mainan untuk Mamat. Tapi bagi Mamat semua itu tidak menarik perhatiannya. Mamat hanya ingin Emak. Emak yang keluar dari dalam tanah dan membawanya pulang ke gubuk reyot mereka.

Makin lama kesehatan Mamat makin memburuk dan dengan paksaan Teh Susi, Mamat akhirnya dibawa ke klinik dekat TPU.

“Mamat harus di dibawa ke rumah sakit Teh, harus di opname.” kata dokter klinik sambil memeriksa Mamat yang tertidur lelap.

“Besok saya akan bawa ke rumah sakit, Dok. Tapi tolong ya, Mamat boleh tidur di sini dulu semalam. Kasihan dia selalu tidur di kuburan Emaknya.”

“Jangan khawatir, Mamat boleh tidur di sini. Ada penjaga klinik kok, yang akan menginap malam hari ini.”

Teh Susi menatap wajah tirus Mamat yang terlelap karena pengaruh obat tidur. Opname? Dari mana biayanya? Sudah beberapa hari ini warungnya sepi pembeli. Teh Susi merapikan selimut Mamat dan keluar ruangan. Tak boleh putus harapan...semoga ada tetangga yang mau menyumbang untuk biaya berobat Mamat.

Suara ayam berkokok nyaring. Hujan tadi malam membuat langit pagi begitu mendung. Mata Mamat terbuka perlahan. Tubuhnya terasa lemas sekali. Namun Mamat memaksakan diri untuk bangun dan berjalan perlahan mendekati pintu.

Suara tv di ruang tunggu klinik masih terdengar. Diiringi  deru napas penjaga klinik yang masih terlelap di kursi dengan sarung yang menyelimuti tubuhnya. Mamat membuka pintu perlahan. Udara dingin pagi menerpa tubuh, membuat dada Mamat terasa sakit. Mamat berjalan dengan sisa tenaganya keluar, menuju makam Emak.

 Tertatih - tatih  Mamat berjalan menuju TPU. Jalan masih sepi, lengang berselimut kabut. Nafas Mamat memburu, tanpa alas kaki, Mamat berjalan menembus dinginnya pagi, menghampiri dan akhirnya terduduk di makam Emak. Mamat merasa lelah dan merebahkan tubuhnya di atas pusara Emak yang basah terkena hujan.

“MAMAAAKKK...” Mamat menangis melengking pilu. Rasa sakit di tubuhnya tak tertahankan. Seakan beribu jarum menghujam jantungnya. Mamat sangat rindu Emak...Mamat ingin ketemu Emak...

“Mat,  pulang yuk,”

             Mamat berhenti menangis.

“MAAK?”

Mamat terpana . Halusinasikah atau nyata? Wajah Mamat berseri senang. Matanya berbinar. Emak berdiri di hadapannya, dengan senyum tersungging di bibirnya. Sakit di tubuhnya hilang. Yang terasa hanyalah bahagia yang menggelegak di dada. 

“Yuk, kita pulang, Nak. “ Emak membentangkan tangannya.

“MAMAAAKKK...” Mamat berlari ke arah Emak. Tak peduli dengan suara tangis Mang Ujang, suara tangis Teh Susi, suara ribut orang-orang, Mamat tak peduli. Karena dirinya sudah berada di tempat yang dirindukannya selama ini...dalam pelukan Emak..

Mang Ujang mengusap wajah Mamat yang terbaring di atas pusara Emak, wajahnya begitu damai, seperti orang tertidur. Tak henti-hentinya Mang Ujang menyeka air mata yang membasahi wajahnya.

“Cinta dan rindu yang membuatmu begini Mat, semoga kamu bahagia di sana bersama Emakmu ya,”

Angin bertiup kencang, menerpa sekuntum bunga kamboja putih dari pohonnya. Bunga terbang terbawa angin, meliuk liuk, ke sana ke mari, terbang semakin tinggi, menuju awan....

Menuju Sang Pemilik Jiwa...