Sabtu, 07 Desember 2013

Refrain The Serries Part 1: Coming Home

Bandara Soekarno Hatta terlihat begitu ramai. Niki sekali lagi melirik jam tangannya. Pukul 3 sore... Sudah 2 jam Niki menunggu. Menunggu seorang sahabat...mmm....pacar sih..... Niki jadi tersenyum sendiri. Nata...sahabatnya dari kecil. Cowok jutek, cuek, gak romantis sekarang sudah jadi pacarnya. Perjalanannya ke Austria, mencari Nata,  akhirnya membuat mereka berdua sadar, kalau mereka saling memiliki dan tidak bisa dipisahkan lagi.

Niki berdiri mencari -cari  sosok yang lama dirindukannya. 

Niki mulai gelisah. Nata kan  kuliahnya sudah selesai? dan hari ini akan pulang. Kalau di cancel, pasti Nata akan kasih kabar...

"Segitunya ya lo kangen sama gue."
Niki menoleh..
"Nataaaa..!" Niki menghambur, memeluk Nata erat. Nata kaget dan akhirnya tersenyum bahagia. Bukan pelukan seorang sahabat yang ia rasakan, tapi pelukan seorang kekasih.

"Udaaahh meluknya..malu, banyak orang.." ujar Nata risi.
"Aku kangeeen Naat.."
Niki melepas pelukannya. Rasa rindu terpancar di wajahnya. Nata sudah banyak berubah. Semakin matang dan dewasa.  Rambutnya dipotong rapi dan sedikit berkumis. 
"Capek ya? Sini aku bawain tasnya." Niki mengambil koper yang dibawa Nata dan mulai melangkah keluar.
"Eiittt...tunggu dulu!" Nata menahan lengan Niki.
Niki menoleh. "Ada apa lagi Nat? Ayo, kita pulang. Aku sampe lumutan nunggu kamu di sini."
Nata menatap Niki , menyentuh tangan Niki dan menggenggamnya erat. 
"Gue juga kangen sama lo Nik." 
Niki tersenyum malu.

Mobil Niki melaju cukup kencang. Nata mencoba mengatur ritme jantungnya yang dag-dig-dug. Nata memandang Niki yang asyik bernyanyi sambil memegang kemudi. Niki...makin....cantik...lebih mature...rambutnya panjang dan hitam membuat Nata ingin membelainya. Pipinya makin berisi dan merona. Pulasan lipstik merah di bibirnya membuat Nata ingin....ahhh..Nata menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran-pikiran itu di kepalanya.

Niki tiba-tiba membuka kaca jendela mobil, mengeluarkan sebagian kepalanya.
"Woooiiiii...! Nata sudah pulaangg! Pacarku pulaaangg..!" teriaknya lantang.
Nata kaget setengah mati. cepat-cepat  ditariknya tubuh Niki ke dalam mobil.
"Apaan sih Nik! Bahaya tau."ujar Nata cemas.
Niki nyengir.
"Masih tetep..norak.." Nata menggumam..
"Norak, tapi sayang sama aku kaaann?..hayoo.."goda Niki sambil mengedipkan mata.
Nata tergelak dan mengacak-ngacak rambut Niki. "Geer.."
"Biarin." balas Niki.

Sore itu hujan gerimis. Namun tak membuat Nata urung untuk keluar dari mobil dan  menatap lama rumah bercat putih yang sudah lama ia tinggalkan selama 5 tahun. Masih tetap sama, tapi ada sesuatu yang hilang.

"Trampolin kita mana Nik?"
Niki yang sibuk mengeluarkan tas dan  koper Nata berhenti sejenak.
"Sejak kamu pergi, aku sibuk kuliah dan akhirnya bekerja, trampolin itu nganggur. Papamu akhirnya memindahkan dan menyimpan trampolin itu di garasi."
Nata mengangguk.
"Sekarang kan gue udah pulang. Kita udah bersama lagi, Nik"

Mereka berpandangan.

"Aku kangen trampolin kita." kata Nata.
"Aku juga kangen istana kita..."balas Niki.

Mereka berdua tersenyum seolah dapat membaca pikiran masing-masing. Mereka berdua berlari berkejaran menuju garasi. Nata membuka garasi dan matanya berkeliling mencari sesuatu yang lama dirindukannya.

"Trampolinku!" seru Nata.

Dibantu Niki, mereka menggotong trampolin biru yang sudah berdebu dan menaruhnya di tempat biasa.
Nata membuka sepatunya dan naik ke atas trampolin.
"Sini Nik,"Nata mengulurkan tangannya ke arah Niki.
Niki memandang Nata ragu.
"Nat, kita udah 22 tahun.."
"Ya, trus kenapa?" Nata mulai meloncat-loncat di atas trampolin. "Ayolah, kita bernostalgia sebentar..kamu gak kangen meloncat-loncat kayak gini lagi? Dulu kamu paling berani kan loncat paling tinggi?"
"Dan kamu berteriak ketakutan. Takut aku jatuh."jawab Niki.
Nata tertawa. Matanya terpejam menikmati masa-masa indah ketika SMU bersama trampolin ini, dan ketika bersama Niki.
Melihat itu, Niki jadi tak tahan. Niki membuka high heelsnya dan naik ke atas trampolin. Trampolin itu terlihat makin kecil diisi dua anak muda yang sudah dewasa. Niki memegang tangan Nata erat ketika trampolin itu mulai bergoyang. Sudah lama sekali Niki tidak bermain trampolin.
Nata terbahak melihat Niki menjerit ketika tubuhnya mulai memantul. Mereka berdua tertawa bersama di bawah rintik gerimis hujan.

"Nataa...! Duh...pulang dari Austria bukannya nemuin Mama sama Papa, malah main trampolin!"

Nata menoleh. Mamanya sudah berdiri di teras rumah, disusul Papa, Kak Dany dan Anna.

Nata meloncat turun dari trampolin dan berlari menuju Mama Papa. Nata mencium tangan 
dan memeluk mereka satu persatu.

"Kamu lebih kangen sama trampolin bututmu ya, daripada sama Mama? Hah?" Mama cemberut.

Nata cuma nyengir. " Sorry Ma..hehe.."

Kak Dany menepuk bahu Nata dan memeluknya erat. "Welcome home bro!"

Nata tersenyum. Matanya beralih ke Anna. Gadis berdarah Indo yang sekarang sudah jadi pacarnya Kak Danny makin mempesona seperti model. Tubuhnya makin tinggi, putih dan langsing. Rambutnya dipotong pendek memperlihatkan lehernya yang mulus dan jenjang.

"Hai, apa kabar?" Anna menyalami Nata antusias.

"Aku baik An, kamu makin cantik aja..."

Pipi Anna memerah. "Ah, kamu bisa aja.."

Kak Danny menjitak kepala Nata pelan. "Awas, rayu-rayu pacar Kakak, nanti ada yang ngambek tuh." ujarnya sambil melirik Niki.

Niki melotot. "Apa? Cemburu? Hmm..biasa aja.." Niki melengos masuk ke dalam rumah bersama Mama dan Papa Nata.

Sore itu rumah Nata begitu ramai dan hangat. Nata bahagia sekali. Orang-orang yang dia sayang, semuanya berkumpul menyambut kepulangannya. Niki dan Anna membantu Mama menyiapkan makan malam. Papa, Nata dan Kak Danny duduk di sofa asyik saling  berbagi bercerita. Suara dentingan gelas, suara tawa dan canda menghangatkan suasana rumah itu di tengah gerimisnya hujan..

 To be continued




Kupanggil Dia, Ibu..




 

Seorang bayi yang siap akan dilahirkan di bumi bertanya pada Tuhan.


“Mengapa aku harus ke bumi? Aku ingin disini bersamaMu..”


Lalu Tuhan berkata, “Jangan khawatir, akan ada malaikat  yang menjaga dan menyayangimu di bumi.”


Dan akupun akhirnya dilahirkan...


Aku bersuara menyambut tangan lembut halus yang menggendongku. Inikah malaikatku? Yang diceritakan Tuhan padaku? Sungguh malaikat yang cantik, wangi, dengan kulit putih mulus. Tapi mengapa sentuhannya begitu dingin, hening... tak ada kata-kata lembut penuh keharuan dan suara bisikan azan di telingaku? 


“Ssstt...jangan menangis.” desisnya pelan.


Aku merasakan tubuhku dibungkus kain seadanya.  Hey, mau dibawa kemana aku? Kenapa aku tidak dibersihkan? Tubuhku lengket dan aku kedinginan..

Dia meletakkanku entah dimana. Begitu gelap dan dingin. Sorot mata itu memandang nanar padaku dan akhirnya pergi menjauh, menghilang dalam kegelapan.

Di mana aku? Gelap, dingin...bau..aku takut... Mengapa aku sendiri disini? Mana malaikat yang akan menjagaku? Menyayangiku?


Tuhan..aku tak kuat, aku lemah, aku tak berdaya..bawalah aku kembali bersamaMu..

“Astaghfirullah al aziimmm..! Ya Allah..!”


Siapa itu? Siapa yang menyebut namaMu?


Ku rasakan sentuhan tangan mengangkatku, menyelimutiku dengan kainnya  yang lusuh. Apakah dia kembali? Menyesal karena sudah meninggalkanku seorang diri?

Tapi...ini tangan yang berbeda...Tangan yang kotor dan kasar. Wajah yang menghitam penuh debu, dan sedikit bau....Jauh dari kata cantik..


“Ya Allah, siapa yang tega membuangmu sayang..” 


Hey...dia bersuara! Suaranya begitu lembut, penuh keharuan dan dia memelukku begitu hangat. Aku coba menggapai  wajahnya dengan tanganku. Tapi aku begitu lemah dan kehausan.


Dia menggendongku, membawaku pergi dari tempat gelap itu. Tak henti-hentinya dia memandangku . Bulir-bulir matanya jatuh dipipinya yang mulai keriput.



“Jangan takut sayang...Mak akan menjagamu dan merawatmu..”


Aku mengeluarkan suara tangisan...Tuhan, inikah  malaikatku?..yang akan menjagaku? merawatku? 
Baiklah.. tak peduli dengan tangannya yang kasar, bajunya yang lusuh, rumahnya yang reyot..tak mengapa.  Setidaknya  aku bisa merasakan sebongkah cinta di hatinya. Cinta yang tulus buatku.
Aku berjanji, akan membuatnya bahagia, selalu mendoakannya di saat dia hidup dan saat dia kembali padaMu...


Dan akan kupanggil dia..ibu..











Rabu, 13 November 2013

DIA...



Tengah Malam...
Suara anjing menggonggong bersahut-sahutan, kilauan lampu senter bergerak kesana kemari, dalam hitungan menit lokasi hutan pinggir desa itu ramai dengan orang-orang yang hilir mudik mencari-cari  sesuatu.
Seorang ibu terduduk menangis tersedu-sedu diatas batu besar ditemani seorang wanita tua renta yang tak henti-henti menghiburnya.
            “Tenang  Jeng, Sulis pasti ketemu.Tim SAR sudah dikerahkan untuk mencarinya. Dia pasti akan baik-baik saja.”
            Tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan. “Anak itu ditemukan!!”
            Semua orang berlari menuju arah teriakan tadi, termasuk sang ibu. Ya Tuhan..semoga anakku baik-baik saja...
            Sebuah lubang besar terbentang. Lampu-lampu senter semua diarahkan kedalam lubang itu. Tampak seorang anak perempuan berusia 6 tahun terduduk meringkuk , masih sadar namun dia hanya diam tak bergeming.
            “SULISSS..Ibu disini nak, bertahanlah!”
            Petugas satu  turun perlahan dengan tali.
            “Ayo Nak, jangan takut...sini..aku akan menolongmu.”ujar petugas satu  itu lembut. Digendongnya anak itu.
            “Diaa...juga, dia..mau ikut..” bisik anak itu parau.
            “Siapa?Tak ada siapa-siapa nak..”
            “Dia..”
            Talipun ditarik keatas.
            Dua petugas yang menarik tali diatas tak kuat menariknya.
            “Berrraat sekali...aku tak kuat.. coba yang lain tolong ikut menarik!”teriak petugas 2
            Sang anak keluar dengan selamat. Ibu memeluk dan mencium anaknya erat-erat sambil tak henti-hentinya mengucap syukur.
            “Dia...disini..”gumam anak itu. wajahnya pucat pasi.
            “Tenanglah kamu aman nak..”
             Petugas 2 dan 3 meringis kesakitan mengusap-usap tangannya yang memerah.
             "Hei, Berat sekali kau ini! Seperti menarik sapi saja!" Gerutu petugas 2 pada petugas 1.
             Petugas 1 tertawa terbahak."Bah! Masa aku berat? Kalian tahu sendiri kan aku yang paling kurus diantara kalian?"
             "Tak percaya? Perlu 6 orang untuk menarik kau dan anak itu !"
             Tawa petugas 1 langsung terhenti. Dengan pandangan nanar dia menoleh kebelakang, menatap lubang besar itu. Dan entah kenapa...bulu kuduknya berdiri...






           
           
           
           

Jumat, 18 Oktober 2013

Selamanya, Di hidupmu, Aku Kekasihmu....

(Sumber gambar:www.pixoto.com/ar.dian.18 )

Apa hendak dikata, desa ini terlalu elok untuk ditinggalkan. Hamparan sawah hijau yang bak rumput raksasa menyelimuti pebukitan. Sungai jernih meliuk-liuk bagai ular memotong pesawahan. Anak-anak dengan celana melorot asyik berlari mengejar capung. Petani yang memanggul cangkul semangat menuju sawah siap menjemput rizki. Ibu-ibu yang asyik menyapu halaman dan menyambangi tukang sayur yang lewat. Dalam hitungan detik tukang sayur seperti bak selebriti yang dikerubuti fans-fans nya yaitu ibu-ibu.Sambil memilih-milih sayuran , tak lupa gosip yang disiarkan secara langsung dari mulut para ibu yang tak kalah hebohnya dengan presenter cantik di tv. Sedang asyik-asyiknya bergosip  seketika pandangan ibu-ibu beralih dari sayur ke wajah cantik mengenakan seragam putih abu-abu yang lewat dan menyapa mereka. 
“Pagi ibu-ibu!Asyik banget belanjanya.” sapa wajah bening dengan pipi yang merona  dan senyum manisnya. Rambutnya yang hitam panjang diikat kuda bergoyang-goyang kesana-kemari.
“Eh, neng Asih..mau sekolah? Rajin sekali pagi-pagi sudah berangkat..” tanya si ibu berbadan gendut.
“Ya iya dong bu  ke sekolah,  masa ke sawah?” Gadis itu terkekeh sambil melanjutkan perjalanannya.
Si Ibu berbadan gendut berdecak .”Gak kerasa ya si Asih udah gede. Udah gadis, cantik lagi.Tinggal nunggu dilamar aja pasti banyak yang mau tuh!”
“Hush, masih anak-anak ah, masih sekolah.” ujar Ibu yang rambutnya penuh dengan roll  sambil sibuk memilih sayur.
“Ahh..18 tahun mah udah gede atuh, si Mimin aja umur 17 tahun udah nikah .”
“Eleeuuuhhh...si ibu teh..gimana ini..Jadi gak belanjanya? gosip melulu...”Potong si mang sayur diiringi celotehan ibu-ibu yang menawar .

Akhirnya Kinasih sampai dirumah besar Nyonya Melati. Rumah dengan pekarangan yang luas sebesar lapangan badminton dipenuhi tanaman aneka warna dan bunga-bunga anggrek bulan kesukaan Nyonya. Nyonya sedang sibuk mengawasi petani yang mengepak sayuran hasil kebun yang akan dijual ke kota. Sejak suaminya meninggal, Nyonya yang mengambil alih perkebunan dan pesawahan milik suaminya.
Melihat Asih, senyum di wajah Nyonya mengembang. Tangannya melambai ke arah gadis itu.
“Sini, Asih, ada apa? Pagi-pagi sudah datang kemari. Tidak datang bersama Abahmu?”
Nafas Asih masih ngos-ngosan .”Maaf Nyonya, Asih kemari mau mengabarkan Abah sakit gak bisa kerja. Minta istirahat sehari. Boleh ya Nyonya?’
Wajah Nyonya berubah khawatir
“Abah sakit? Sakit apa? Abahmu itu emang bandel , udah dibilangin kemarin gak usah cuci mobilnya Raka, biar Mang Dede saja yang nyuci. Eh, dicuci juga. Jadi kecapean.”
Raka? Kaka sudah pulang? Raut wajah Asih berubah. Matanya yang bulat berbinar dan mulutnya terbuka memperlihatkan gigi kelincinya yang besar.
“Kaka ada disini ? Beneran Nyonya? Kaka sudah pulang?“
Asih merasakan ada yang menarik rambutnya. Ihh..jail banget..! Asih menoleh kebelakang. Raka tertawa terkekeh. Sosok pemuda yang selalu mengantarnya naik sepeda ketika Asih masih SD, mengajarkannya matematika dan bahasa Inggris, mengajarkannya menangkap capung dan menemaninya bermain di sungai .

Tidak terasa sudah 5 tahun berlalu sejak Raka kuliah di Bandung dan jarang pulang ke Desa. Sekarang Asih melihat sosok Raka yang dewasa, lebih tinggi, dadanya bidang dengan bintik-bintik halus menghiasi dagunya. Alis tebal dan kacamata yang dari dulu tidak berubah. Jadi makin ganteng..
“Heh, kok bengong? Dari kemarin aku udah pulang. Kamu nya aja sok sibuk. Eh, selametin Kaka dong..udah lulus nih...jadi sarjana.” Kata Raka sambil mengacak-acak rambut Asih. Ah, gadis ini sekarang tambah .. cantik. dan ngangenin..
Asih meloncat-loncat seperti anak yang baru dapat undian.
“Kakaaa....selamat yaa Kaa..”Asih menggenggam tangan Raka erat dan menggoncang-goncangkannya  antusias.
Nyonya hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala , wanita itu kembali dengan kesibukannya.
Raka teringat sesuatu “ Masuk yuk, ada oleh-oleh buat kamu dan Abah.” Raka memegang tangan Asih dan mengajaknya ke dalam rumah.
“Kak, Asih kan mau sekolah sebentar lagi. Nanti telat.”
“Nyantai aja..nanti Kaka antar kok.” Kata Raka sambil mengedipkan matanya.
Asih masih kelihatan ragu..tapi aahh...biarin telat juga, lagipula Asih penasaran hadiah apa yang akan diberikan Raka padanya.
Raka mengambil bungkusan yang sudah disiapkannya di atas meja dan menyerahkannya pada Asih.
“Boleh dibuka skarang Ka?”
Raka  tersenyum dan mengangguk.
Asih langsung merobek bungkusan berbentuk kotak itu. Mulut Asih ternganga dan matanya yang bulat membesar . Sepatu olah raga warna ungu! Warna kesukaan Asih. Kok Raka tahu ya,aku lagi butuh sepatu olahraga? Dan satu lagi, sebuah jam tangan warna hitam untuk Abah.
“Kata Mama kalo mau bawa hadiah untuk kamu, bawakan saja sepatu olahraga warna ungu no 37.”  Raka membaca pikiranku.
“Kaka..Makasih yaaa...”Asih terharu. Nyonya dan Raka memang keluarga yang baik. Sudah berpuluh tahun Abah bekerja sebagai mandor di perkebunan sejak Tuan masih hidup. Ambu Asih sudah lama meninggal ketika Asih masih kecil, sejak itu sepulang sekolah Asih selalu bermain di rumah Nyonya dan Asih sudah dianggap seperti anak sendiri di keluarga itu.
 
Suara berdehem mengagetkan mereka berdua. Di ambang pintu berdiri gadis cantik dengan warna rambut panjang agak kemerahan, kaos oblong dipadu celana jeans selutut dan sepatu kets warna oranye. Keringat bercucuran di wajahnya yang putih. Asih melihatnya seperti salah satu personel girlband..hmm...siapa ya...
“Ternyata asyik juga ya kalau jalan-jalan pagi di  desa ini. “ Gadis itu menyeka wajahnya dengan tissue dan memandang Raka dan Asih yang terpaku.
”Lho kok, diem aja? Raka, ini adik kamu bukan? Kenalin doong..”
Asih mengerutkan keningnya. Adik? Ya..kelihatannya memang Raka hanya menganggapnya adik
Raka kelihatan salah tingkah. “ Asih, ini Imelda teman kuliah Kaka di Bandung. “
“Lebih tepatnya pacar.” Lanjut gadis berkulit putih itu tersenyum penuh arti.
Asih menatap Raka dan Imelda bergantian. Hatinya sedikit bingung. Kaka udah punya pacar? Entah kenapa dada Asih terasa sesak membuncah .
“Asih.” Mengulurkan tangan disambut Imelda dengan senyum agak dipaksa. Asih merasakan suasana yang kaku dan tidak nyaman diantara mereka..
“Maaf ya, Asih harus sekolah nanti telat .Makasih hadiahnya ya Ka.”
“Aku antar ya!” Seru Raka
“Gak usah Ka.” Asih buru-buru keluar dan berlari.

Malam terasa begitu dingin. Suara tokek dan jangkrik bersaut-sautan seolah sedang berduet disaksikan bulan yang bercahaya sempurna. Abah duduk diteras sambil tak henti-hentinya mengagumi jam pemberian Raka yang menempel di tangannya. Sesekali memijit kakinya yang masih pegal dan melirik Asih yang terduduk  termenung di atas pohon jambu memandangi  sawah-sawah dan gunung yang samar-samar terlihat, kelabu, hanya dibantu penerangan oleh cahaya bulan . Begitu meneduhkan tapi tidak begitu dengan hatinya yang galau.
‘Asih, ayo turun, sudah malam. Masa anak perempuan nongkrongnya diatas pohon.”
Asih cuma menengok Abahnya sebentar dan melanjutkan memandangi pesawahan.
Abah menghela nafas. Sedari pulang sekolah putrinya ini sudah terlihat gundah. Asih pasti sedang memikirkan anak lelaki Nyonya yang baru  pulang dari Bandung. Abah tahu persis perasaan putrinya. Dari kecil Asih sayang sekali pada Raka. Raka yang selalu mengantar Asih sekolah dengan sepeda, membantunya mengerjakan PR, menemaninya bermain di sungai karena khawatir Asih tidak bisa berenang. Rasa sayang seorang  adik pada kakaknya.Namun perlahan rasa sayang itu mulai berubah sejak Raka kuliah di Bandung. Suatu ketika Abah mendapati putrinya sedang mencium surat-surat dan foto yang dikirim Raka. Asih menempel foto Raka di buku diarinya dan disimpannya di dalam lemari. Abah sadar kalau putrinya sudah mengenal yang namanya cinta...

Akhirnya Asih turun dari pohon . Asih mendekati abah dan merebahkan kepalanya di dada ayahnya. Abah mengelus kepala putrinya dengan sayang. Putrinya yang sudah dewasa, manis seperti mawar putih yang baru mekar..cantik seperti almarhum ibunya. Sudah banyak pria di desa yang berniat melamar putrinya. Namun abah tolak. Abah ingin Asih menyelesaikan sekolahnya dulu dan menggapai cita-citanya.
“Abah, Kaka sekarang udah punya pacar. Kata Mang Dede, minggu depan mereka akan bertunangan .”
Abah tersenyum. “Mungkin sudah jodohnya Raka, Asih.”
Abah merasakan dadanya hangat dan basah. Asih mengangkat kepalanya, menatap wajah tua yang sudah banyak kerutan disana-sini, dan jenggot yang sudah memutih dengan matanya yang bening bak kaca dan pipi yang merona basah oleh air mata.
“Iya, Imel memang cocok dengan Kaka. Cantik, pintar..Lagipula siapa Asih..Asih kan bukan lulusan universitas terkenal, bukan anak orang kaya..”
Abah sudah tahu perasaan Asih. Abah menghapus pipi Asih yang basah dengan rasa sayang.
“Sabar ya Asih, Insya Allah jodohmu pasti akan datang.  Abah yakin suatu saat akan datang pria yang baik, bertanggung jawab dan mencintai kamu dengan tulus.” Ujar Abah berharap ada secuil senyuman muncul dari bibir putrinya. Asih menyeka air matanya yang tersisa, tersenyum dan kembali merebahkan kepalanya di tempat favoritnya dari kecil ......pelukan Abah.
Hari itu dirumah besar Nyonya sibuk sekali. Mang Dede sibuk mengelap mobil Nyonya sampai mengkilap. Nyonya sibuk mondar-mandir, mematut diri di cermin, mengenakan kebaya warna hijau tosca, rambut disanggul rapi. Asih menyematkan bunga artificial di sanggul Nyonya. Nyonya tampak anggun sekali.
“Duh, makasih ya Asih, untung ada kamu nak,ternyata kamu pinter ya ngedandanin orang” Nyonya mencubit pipi Asih.
Asih menyeringai “ Beres, sekarang Nyonya sudah cantik sekali.”
“Sih, coba lihat Raka sudah siap belum. Dari tadi  masih dikamar, gimana anak itu, mau tunangan tapi belum juga ganti baju.”
Wajah Asih berubah sendu., Ya,hari ini pertunangan Raka dan Imel..
Asih melangkah mendekati kamar  Raka. Pemuda itu masih berdiri di depan cermin dengan tangan yang masih sibuk memutar dasinya sesekali mendengus kesal karena tidak selesai juga memasangkan dasi.
“Sini Ka, Asih pasangin dasinya.”
Raka membalikkan badannya. Asih mendekat, meraih dasi yang masih terjuntai di leher Raka dan dengan cekatan menyimpulkannya. Tubuh mereka, wajah mereka begitu dekat. Asih bisa merasakan deru nafas Raka dan tatapan mata Raka yang..sulit ditebak. Asih mengigit bibirnya, menahan rasa yang sulit untuk diungkapkan, menahannya untuk tidak menangis. Menahan rasa yang menggelegak di dadanya. Lelaki ini..sebentar lagi akan dimiliki orang lain..bukan dirinya.
Tiba-tiba Raka menggenggam tangan Asih dengan tangan kanannya.Terasa hangat.
“Asih, makasih ya..” Bisik Raka.
Asih mengangguk, dan memaksakan diri untuk tersenyum. Matanya mulai berair namun berusaha menyembunyikannya
“Selesai, Kaka sekarang sudah ganteng deh. Pasti Ka Imel terpesona melihatnya.”
Raka tersenyum kecut. Asih sudah tak tahan lagi. Dia cepat-cepat keluar dari kamar itu dan terasa air matanya meleleh. Asih dengan cepat menyeka pipinya meninggalkan Raka yang masih mematung dan memandangnya pergi..
Raka merasakan tangan lembut menyentuh bahunya. Tangan Nyoya yang memandang wajahnya dengan pandangan serius.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?" Tanya Nyonya.
Raka tidak menjawab. Hanya mengangguk.
“Kamu bisa membatalkannya kalau kamu ragu.”Ujar Nyonya.
Raka menggeleng kuat.-kuat “ Gak bisa Ma, Raka sudah banyak berhutang budi pada keluarga Imel.”
“Banyak cara untuk membalas budi Raka. Mama hanya tidak mau kamu menyesal..” Mama membelai pipi putranya dan melangkah pergi.

Apa hendak dikata, desa ini terlalu elok untuk dipandang. Asih duduk di rumput yang basah. Gemericik air sungai terdengar begitu menenangkan. Suara kerbau melenguh sayup sayup. Asih membelai sepatu ungunya...sepatu dari Raka. Matanya sembab karena menangis. Matanya memandang sungai dan hamparan sawah didepannya. Asih memejamkan matanya.  Raka dan Nyonya sudah pergi ke Bandung menemui keluarga Imel. Asih hanya bisa memandangi mobil Raka yang pergi menjauh. Hati Asih terasa remuk, hampa, sebagian jiwanya telah pergi. 5 tahun Asih menunggu Raka, dan akhirnya harus merelakan pujaan hatinya bersanding dengan wanita lain. Hanya genggaman tangan dan tatapan mata Abah yang menguatkan dan menyadarkannya, bahwa ini  terjadi,  dan Asih harus ikhlas menerimanya.
Beningnya air sungai membuat Asih bangkit ,membuka sepatu ungunya dan melangkah menuju sungai. Asih menjerit ketika kakinya merasakan dinginnya air sungai, dingin seperti air es. Beberapa ikan kecil berseliweran dan mengenai kakinya, membuat Asih tertawa geli dan melupakan sejenak kesedihannya.Asih mencoba menangkap ikan-ikan kecil itu, namun binatang itu terlalu gesit dan lincah.
Suara tawa terdengar di seberang sungai, membuat Asih mengerutkan keningnya dan menoleh.Jantungnya serasa berhenti dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Raka.!”
Masih mengenakan jas hitam, dasi lengkap Raka melangkah ke bibir sungai. Wajahnya tersungging senyuman lebar. Asih mengucek matanya. Apakah ini mimpi?
Ckckck..kamu tuh udah gede, masih aja main di sungai, nangkep ikan.” Ejek Raka.
“Ka..”
Raka hanya tersenyum dan melipat tangannya
"Harusnya Kaka di Bandung kan? Bersama Kak Imel.."
Raka hanya mengangkat bahunya. “ Aku gak jadi tunangan.”
Mata Asih terbelalak, Kaka gak jadi tunangan?
Raka tersenyum dan memandang Asih dengan tatapan yang berbeda. Bukan tatapan seorang Kakak pada adiknya. Tapi tatapan seorang lelaki pada seorang gadis yang dicintainya..
“Bukan jodohnya mungkin..” Lanjut Raka.
Asih masih melongo, mulutnya menganga membuat Raka gemas ingin mengatupkan mulut mungil itu .
“Eh, malah melongo..tutup mulutnya tuh, ntar lalat masuk lho!”
Asih nyengir “Ah, Kaka sok tahuu..emang Kaka sudah tahu jodohnya siapa?”
Raka memandang Asih dengan tatapan yang membuat dada Asih berdegup kencang. Raka mendekat, tangannya meraih tangan Asih yang basah, mengecupnya dengan segenap jiwanya. Senyum Asih mengembang, tak perlu berkata apapun dia sudah tahu jawabannya. Raka kembali untuknya...
Mereka berdua saling bertatapan penuh arti. Tiba-tiba Asih menyipratkan air sungai ke wajah dan tubuh Raka. Pemuda itu membelalakkan matanya.
“Asih, ini baju masih baru....kamu tuh yaaa..!” 
Raka menggulung celananya, hendak masuk kesungai. Tapi karena terburu-buru Raka terpeleset dan malah tercebur ke sungai. Bukannya menolong, Asih malah tertawa terbahak. Bajunyapun basah terkena cipratan. Raka menggerutu, jasnya basah dan kotor terkena lumpur sungai. Mama pasti marah, ini jas kan mahal. Tapi melihat tawa gadis bergigi kelinci dengan semburan merah dipipi, matanya yang bulat indah, dan rambut  basah membuat Raka terpana..aku gak akan ngelepasin senyum indah dan tawa  itu, aku gak akan ngelepasin rona merah di pipi itu, dan  aku gak akan ngelepasin kamu... Raka tersenyum memandangi  Asih  yang basah kuyup, tertawa, menatap awan-awan yang berarak  dilangit dengan hati mengucap satu janji.. Selamanya, di hidupmu Ka, aku kan selalu jadi kekasihmu..

Sore hari, desa ini begitu indah, hamparan sawah bak rumput raksasa nan hijau ,Ikan-ikan kecil berlompatan kian kemari, suara canda tawa bahagia dua anak manusia yang bermain air di sungai, suara kerbau melenguh, suara gemericik air dan... suara samar isak tangis Sang Nyonya, yang sedang mengintip secara sembunyi-sembunyi, dibalik pohon, memegang sebuah foto hitam putih, foto dirinya yang masih muda merangkul seorang wanita yang mirip dengan Asih.Nyonya memandang lamat-lamat foto itu...ah,Minah sahabatku...seandainya kamu melihatnya.. dengan senyum dan air mata bahagia...


Note: Cerita blog, tema lagu "Sabar" Afgansyah Reza