Jumat, 18 Oktober 2013

Selamanya, Di hidupmu, Aku Kekasihmu....

(Sumber gambar:www.pixoto.com/ar.dian.18 )

Apa hendak dikata, desa ini terlalu elok untuk ditinggalkan. Hamparan sawah hijau yang bak rumput raksasa menyelimuti pebukitan. Sungai jernih meliuk-liuk bagai ular memotong pesawahan. Anak-anak dengan celana melorot asyik berlari mengejar capung. Petani yang memanggul cangkul semangat menuju sawah siap menjemput rizki. Ibu-ibu yang asyik menyapu halaman dan menyambangi tukang sayur yang lewat. Dalam hitungan detik tukang sayur seperti bak selebriti yang dikerubuti fans-fans nya yaitu ibu-ibu.Sambil memilih-milih sayuran , tak lupa gosip yang disiarkan secara langsung dari mulut para ibu yang tak kalah hebohnya dengan presenter cantik di tv. Sedang asyik-asyiknya bergosip  seketika pandangan ibu-ibu beralih dari sayur ke wajah cantik mengenakan seragam putih abu-abu yang lewat dan menyapa mereka. 
“Pagi ibu-ibu!Asyik banget belanjanya.” sapa wajah bening dengan pipi yang merona  dan senyum manisnya. Rambutnya yang hitam panjang diikat kuda bergoyang-goyang kesana-kemari.
“Eh, neng Asih..mau sekolah? Rajin sekali pagi-pagi sudah berangkat..” tanya si ibu berbadan gendut.
“Ya iya dong bu  ke sekolah,  masa ke sawah?” Gadis itu terkekeh sambil melanjutkan perjalanannya.
Si Ibu berbadan gendut berdecak .”Gak kerasa ya si Asih udah gede. Udah gadis, cantik lagi.Tinggal nunggu dilamar aja pasti banyak yang mau tuh!”
“Hush, masih anak-anak ah, masih sekolah.” ujar Ibu yang rambutnya penuh dengan roll  sambil sibuk memilih sayur.
“Ahh..18 tahun mah udah gede atuh, si Mimin aja umur 17 tahun udah nikah .”
“Eleeuuuhhh...si ibu teh..gimana ini..Jadi gak belanjanya? gosip melulu...”Potong si mang sayur diiringi celotehan ibu-ibu yang menawar .

Akhirnya Kinasih sampai dirumah besar Nyonya Melati. Rumah dengan pekarangan yang luas sebesar lapangan badminton dipenuhi tanaman aneka warna dan bunga-bunga anggrek bulan kesukaan Nyonya. Nyonya sedang sibuk mengawasi petani yang mengepak sayuran hasil kebun yang akan dijual ke kota. Sejak suaminya meninggal, Nyonya yang mengambil alih perkebunan dan pesawahan milik suaminya.
Melihat Asih, senyum di wajah Nyonya mengembang. Tangannya melambai ke arah gadis itu.
“Sini, Asih, ada apa? Pagi-pagi sudah datang kemari. Tidak datang bersama Abahmu?”
Nafas Asih masih ngos-ngosan .”Maaf Nyonya, Asih kemari mau mengabarkan Abah sakit gak bisa kerja. Minta istirahat sehari. Boleh ya Nyonya?’
Wajah Nyonya berubah khawatir
“Abah sakit? Sakit apa? Abahmu itu emang bandel , udah dibilangin kemarin gak usah cuci mobilnya Raka, biar Mang Dede saja yang nyuci. Eh, dicuci juga. Jadi kecapean.”
Raka? Kaka sudah pulang? Raut wajah Asih berubah. Matanya yang bulat berbinar dan mulutnya terbuka memperlihatkan gigi kelincinya yang besar.
“Kaka ada disini ? Beneran Nyonya? Kaka sudah pulang?“
Asih merasakan ada yang menarik rambutnya. Ihh..jail banget..! Asih menoleh kebelakang. Raka tertawa terkekeh. Sosok pemuda yang selalu mengantarnya naik sepeda ketika Asih masih SD, mengajarkannya matematika dan bahasa Inggris, mengajarkannya menangkap capung dan menemaninya bermain di sungai .

Tidak terasa sudah 5 tahun berlalu sejak Raka kuliah di Bandung dan jarang pulang ke Desa. Sekarang Asih melihat sosok Raka yang dewasa, lebih tinggi, dadanya bidang dengan bintik-bintik halus menghiasi dagunya. Alis tebal dan kacamata yang dari dulu tidak berubah. Jadi makin ganteng..
“Heh, kok bengong? Dari kemarin aku udah pulang. Kamu nya aja sok sibuk. Eh, selametin Kaka dong..udah lulus nih...jadi sarjana.” Kata Raka sambil mengacak-acak rambut Asih. Ah, gadis ini sekarang tambah .. cantik. dan ngangenin..
Asih meloncat-loncat seperti anak yang baru dapat undian.
“Kakaaa....selamat yaa Kaa..”Asih menggenggam tangan Raka erat dan menggoncang-goncangkannya  antusias.
Nyonya hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala , wanita itu kembali dengan kesibukannya.
Raka teringat sesuatu “ Masuk yuk, ada oleh-oleh buat kamu dan Abah.” Raka memegang tangan Asih dan mengajaknya ke dalam rumah.
“Kak, Asih kan mau sekolah sebentar lagi. Nanti telat.”
“Nyantai aja..nanti Kaka antar kok.” Kata Raka sambil mengedipkan matanya.
Asih masih kelihatan ragu..tapi aahh...biarin telat juga, lagipula Asih penasaran hadiah apa yang akan diberikan Raka padanya.
Raka mengambil bungkusan yang sudah disiapkannya di atas meja dan menyerahkannya pada Asih.
“Boleh dibuka skarang Ka?”
Raka  tersenyum dan mengangguk.
Asih langsung merobek bungkusan berbentuk kotak itu. Mulut Asih ternganga dan matanya yang bulat membesar . Sepatu olah raga warna ungu! Warna kesukaan Asih. Kok Raka tahu ya,aku lagi butuh sepatu olahraga? Dan satu lagi, sebuah jam tangan warna hitam untuk Abah.
“Kata Mama kalo mau bawa hadiah untuk kamu, bawakan saja sepatu olahraga warna ungu no 37.”  Raka membaca pikiranku.
“Kaka..Makasih yaaa...”Asih terharu. Nyonya dan Raka memang keluarga yang baik. Sudah berpuluh tahun Abah bekerja sebagai mandor di perkebunan sejak Tuan masih hidup. Ambu Asih sudah lama meninggal ketika Asih masih kecil, sejak itu sepulang sekolah Asih selalu bermain di rumah Nyonya dan Asih sudah dianggap seperti anak sendiri di keluarga itu.
 
Suara berdehem mengagetkan mereka berdua. Di ambang pintu berdiri gadis cantik dengan warna rambut panjang agak kemerahan, kaos oblong dipadu celana jeans selutut dan sepatu kets warna oranye. Keringat bercucuran di wajahnya yang putih. Asih melihatnya seperti salah satu personel girlband..hmm...siapa ya...
“Ternyata asyik juga ya kalau jalan-jalan pagi di  desa ini. “ Gadis itu menyeka wajahnya dengan tissue dan memandang Raka dan Asih yang terpaku.
”Lho kok, diem aja? Raka, ini adik kamu bukan? Kenalin doong..”
Asih mengerutkan keningnya. Adik? Ya..kelihatannya memang Raka hanya menganggapnya adik
Raka kelihatan salah tingkah. “ Asih, ini Imelda teman kuliah Kaka di Bandung. “
“Lebih tepatnya pacar.” Lanjut gadis berkulit putih itu tersenyum penuh arti.
Asih menatap Raka dan Imelda bergantian. Hatinya sedikit bingung. Kaka udah punya pacar? Entah kenapa dada Asih terasa sesak membuncah .
“Asih.” Mengulurkan tangan disambut Imelda dengan senyum agak dipaksa. Asih merasakan suasana yang kaku dan tidak nyaman diantara mereka..
“Maaf ya, Asih harus sekolah nanti telat .Makasih hadiahnya ya Ka.”
“Aku antar ya!” Seru Raka
“Gak usah Ka.” Asih buru-buru keluar dan berlari.

Malam terasa begitu dingin. Suara tokek dan jangkrik bersaut-sautan seolah sedang berduet disaksikan bulan yang bercahaya sempurna. Abah duduk diteras sambil tak henti-hentinya mengagumi jam pemberian Raka yang menempel di tangannya. Sesekali memijit kakinya yang masih pegal dan melirik Asih yang terduduk  termenung di atas pohon jambu memandangi  sawah-sawah dan gunung yang samar-samar terlihat, kelabu, hanya dibantu penerangan oleh cahaya bulan . Begitu meneduhkan tapi tidak begitu dengan hatinya yang galau.
‘Asih, ayo turun, sudah malam. Masa anak perempuan nongkrongnya diatas pohon.”
Asih cuma menengok Abahnya sebentar dan melanjutkan memandangi pesawahan.
Abah menghela nafas. Sedari pulang sekolah putrinya ini sudah terlihat gundah. Asih pasti sedang memikirkan anak lelaki Nyonya yang baru  pulang dari Bandung. Abah tahu persis perasaan putrinya. Dari kecil Asih sayang sekali pada Raka. Raka yang selalu mengantar Asih sekolah dengan sepeda, membantunya mengerjakan PR, menemaninya bermain di sungai karena khawatir Asih tidak bisa berenang. Rasa sayang seorang  adik pada kakaknya.Namun perlahan rasa sayang itu mulai berubah sejak Raka kuliah di Bandung. Suatu ketika Abah mendapati putrinya sedang mencium surat-surat dan foto yang dikirim Raka. Asih menempel foto Raka di buku diarinya dan disimpannya di dalam lemari. Abah sadar kalau putrinya sudah mengenal yang namanya cinta...

Akhirnya Asih turun dari pohon . Asih mendekati abah dan merebahkan kepalanya di dada ayahnya. Abah mengelus kepala putrinya dengan sayang. Putrinya yang sudah dewasa, manis seperti mawar putih yang baru mekar..cantik seperti almarhum ibunya. Sudah banyak pria di desa yang berniat melamar putrinya. Namun abah tolak. Abah ingin Asih menyelesaikan sekolahnya dulu dan menggapai cita-citanya.
“Abah, Kaka sekarang udah punya pacar. Kata Mang Dede, minggu depan mereka akan bertunangan .”
Abah tersenyum. “Mungkin sudah jodohnya Raka, Asih.”
Abah merasakan dadanya hangat dan basah. Asih mengangkat kepalanya, menatap wajah tua yang sudah banyak kerutan disana-sini, dan jenggot yang sudah memutih dengan matanya yang bening bak kaca dan pipi yang merona basah oleh air mata.
“Iya, Imel memang cocok dengan Kaka. Cantik, pintar..Lagipula siapa Asih..Asih kan bukan lulusan universitas terkenal, bukan anak orang kaya..”
Abah sudah tahu perasaan Asih. Abah menghapus pipi Asih yang basah dengan rasa sayang.
“Sabar ya Asih, Insya Allah jodohmu pasti akan datang.  Abah yakin suatu saat akan datang pria yang baik, bertanggung jawab dan mencintai kamu dengan tulus.” Ujar Abah berharap ada secuil senyuman muncul dari bibir putrinya. Asih menyeka air matanya yang tersisa, tersenyum dan kembali merebahkan kepalanya di tempat favoritnya dari kecil ......pelukan Abah.
Hari itu dirumah besar Nyonya sibuk sekali. Mang Dede sibuk mengelap mobil Nyonya sampai mengkilap. Nyonya sibuk mondar-mandir, mematut diri di cermin, mengenakan kebaya warna hijau tosca, rambut disanggul rapi. Asih menyematkan bunga artificial di sanggul Nyonya. Nyonya tampak anggun sekali.
“Duh, makasih ya Asih, untung ada kamu nak,ternyata kamu pinter ya ngedandanin orang” Nyonya mencubit pipi Asih.
Asih menyeringai “ Beres, sekarang Nyonya sudah cantik sekali.”
“Sih, coba lihat Raka sudah siap belum. Dari tadi  masih dikamar, gimana anak itu, mau tunangan tapi belum juga ganti baju.”
Wajah Asih berubah sendu., Ya,hari ini pertunangan Raka dan Imel..
Asih melangkah mendekati kamar  Raka. Pemuda itu masih berdiri di depan cermin dengan tangan yang masih sibuk memutar dasinya sesekali mendengus kesal karena tidak selesai juga memasangkan dasi.
“Sini Ka, Asih pasangin dasinya.”
Raka membalikkan badannya. Asih mendekat, meraih dasi yang masih terjuntai di leher Raka dan dengan cekatan menyimpulkannya. Tubuh mereka, wajah mereka begitu dekat. Asih bisa merasakan deru nafas Raka dan tatapan mata Raka yang..sulit ditebak. Asih mengigit bibirnya, menahan rasa yang sulit untuk diungkapkan, menahannya untuk tidak menangis. Menahan rasa yang menggelegak di dadanya. Lelaki ini..sebentar lagi akan dimiliki orang lain..bukan dirinya.
Tiba-tiba Raka menggenggam tangan Asih dengan tangan kanannya.Terasa hangat.
“Asih, makasih ya..” Bisik Raka.
Asih mengangguk, dan memaksakan diri untuk tersenyum. Matanya mulai berair namun berusaha menyembunyikannya
“Selesai, Kaka sekarang sudah ganteng deh. Pasti Ka Imel terpesona melihatnya.”
Raka tersenyum kecut. Asih sudah tak tahan lagi. Dia cepat-cepat keluar dari kamar itu dan terasa air matanya meleleh. Asih dengan cepat menyeka pipinya meninggalkan Raka yang masih mematung dan memandangnya pergi..
Raka merasakan tangan lembut menyentuh bahunya. Tangan Nyoya yang memandang wajahnya dengan pandangan serius.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?" Tanya Nyonya.
Raka tidak menjawab. Hanya mengangguk.
“Kamu bisa membatalkannya kalau kamu ragu.”Ujar Nyonya.
Raka menggeleng kuat.-kuat “ Gak bisa Ma, Raka sudah banyak berhutang budi pada keluarga Imel.”
“Banyak cara untuk membalas budi Raka. Mama hanya tidak mau kamu menyesal..” Mama membelai pipi putranya dan melangkah pergi.

Apa hendak dikata, desa ini terlalu elok untuk dipandang. Asih duduk di rumput yang basah. Gemericik air sungai terdengar begitu menenangkan. Suara kerbau melenguh sayup sayup. Asih membelai sepatu ungunya...sepatu dari Raka. Matanya sembab karena menangis. Matanya memandang sungai dan hamparan sawah didepannya. Asih memejamkan matanya.  Raka dan Nyonya sudah pergi ke Bandung menemui keluarga Imel. Asih hanya bisa memandangi mobil Raka yang pergi menjauh. Hati Asih terasa remuk, hampa, sebagian jiwanya telah pergi. 5 tahun Asih menunggu Raka, dan akhirnya harus merelakan pujaan hatinya bersanding dengan wanita lain. Hanya genggaman tangan dan tatapan mata Abah yang menguatkan dan menyadarkannya, bahwa ini  terjadi,  dan Asih harus ikhlas menerimanya.
Beningnya air sungai membuat Asih bangkit ,membuka sepatu ungunya dan melangkah menuju sungai. Asih menjerit ketika kakinya merasakan dinginnya air sungai, dingin seperti air es. Beberapa ikan kecil berseliweran dan mengenai kakinya, membuat Asih tertawa geli dan melupakan sejenak kesedihannya.Asih mencoba menangkap ikan-ikan kecil itu, namun binatang itu terlalu gesit dan lincah.
Suara tawa terdengar di seberang sungai, membuat Asih mengerutkan keningnya dan menoleh.Jantungnya serasa berhenti dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Raka.!”
Masih mengenakan jas hitam, dasi lengkap Raka melangkah ke bibir sungai. Wajahnya tersungging senyuman lebar. Asih mengucek matanya. Apakah ini mimpi?
Ckckck..kamu tuh udah gede, masih aja main di sungai, nangkep ikan.” Ejek Raka.
“Ka..”
Raka hanya tersenyum dan melipat tangannya
"Harusnya Kaka di Bandung kan? Bersama Kak Imel.."
Raka hanya mengangkat bahunya. “ Aku gak jadi tunangan.”
Mata Asih terbelalak, Kaka gak jadi tunangan?
Raka tersenyum dan memandang Asih dengan tatapan yang berbeda. Bukan tatapan seorang Kakak pada adiknya. Tapi tatapan seorang lelaki pada seorang gadis yang dicintainya..
“Bukan jodohnya mungkin..” Lanjut Raka.
Asih masih melongo, mulutnya menganga membuat Raka gemas ingin mengatupkan mulut mungil itu .
“Eh, malah melongo..tutup mulutnya tuh, ntar lalat masuk lho!”
Asih nyengir “Ah, Kaka sok tahuu..emang Kaka sudah tahu jodohnya siapa?”
Raka memandang Asih dengan tatapan yang membuat dada Asih berdegup kencang. Raka mendekat, tangannya meraih tangan Asih yang basah, mengecupnya dengan segenap jiwanya. Senyum Asih mengembang, tak perlu berkata apapun dia sudah tahu jawabannya. Raka kembali untuknya...
Mereka berdua saling bertatapan penuh arti. Tiba-tiba Asih menyipratkan air sungai ke wajah dan tubuh Raka. Pemuda itu membelalakkan matanya.
“Asih, ini baju masih baru....kamu tuh yaaa..!” 
Raka menggulung celananya, hendak masuk kesungai. Tapi karena terburu-buru Raka terpeleset dan malah tercebur ke sungai. Bukannya menolong, Asih malah tertawa terbahak. Bajunyapun basah terkena cipratan. Raka menggerutu, jasnya basah dan kotor terkena lumpur sungai. Mama pasti marah, ini jas kan mahal. Tapi melihat tawa gadis bergigi kelinci dengan semburan merah dipipi, matanya yang bulat indah, dan rambut  basah membuat Raka terpana..aku gak akan ngelepasin senyum indah dan tawa  itu, aku gak akan ngelepasin rona merah di pipi itu, dan  aku gak akan ngelepasin kamu... Raka tersenyum memandangi  Asih  yang basah kuyup, tertawa, menatap awan-awan yang berarak  dilangit dengan hati mengucap satu janji.. Selamanya, di hidupmu Ka, aku kan selalu jadi kekasihmu..

Sore hari, desa ini begitu indah, hamparan sawah bak rumput raksasa nan hijau ,Ikan-ikan kecil berlompatan kian kemari, suara canda tawa bahagia dua anak manusia yang bermain air di sungai, suara kerbau melenguh, suara gemericik air dan... suara samar isak tangis Sang Nyonya, yang sedang mengintip secara sembunyi-sembunyi, dibalik pohon, memegang sebuah foto hitam putih, foto dirinya yang masih muda merangkul seorang wanita yang mirip dengan Asih.Nyonya memandang lamat-lamat foto itu...ah,Minah sahabatku...seandainya kamu melihatnya.. dengan senyum dan air mata bahagia...


Note: Cerita blog, tema lagu "Sabar" Afgansyah Reza

Selasa, 15 Oktober 2013

Sabar ya Sayang....

(gambar:.mademoisellegroup.com)
Suara  mesin jahit menderu-deru ditengah rumah mungil di gang sempit. Cuaca panas ibukota membuat rumah dengan ventilasi terbatas itu semakin pengap. Namun Mama tetap mengayuh mesin jahitnya demi menyelesaikan pesanan jahitan langganannya, karena kalau tidak diselesaikan sekarang, tidak ada tambahan uang, dan siap-siap saja menikmati makan malam dengan lauk seadanya.


Di kamar, aku sibuk membuka-buka majalah wanita, mencari model baju untuk acara pensi dan wisuda kelulusan SMA ku. Alhamdulillah aku masuk dalam jajaran 5 besar murid dengan nilai UN tertinggi. Dan di acara kelulusan nanti aku harus memakai baju kebaya. Aku ingin terlihat cantik di acara kelulusan nanti. Mataku terantuk pada model kebaya di majalah yang aku baca. Kebaya modern berwarna putih dengan pita warna pink dibagian pinggang, dipadu dengan rok batik panjang.  


“Ma, lihat! Kebayanya bagus kan? Ma, bikinin dong kebaya seperti ini buat acara kelulusan nanti.” Kataku setengah merajuk.


Mama mengambil majalah itu dari tanganku. Mama menghela nafas.


“Dinda, ini kainnya mahal...uang Mama tidak cukup buat beli bahan semahal ini. Bagaimana kalau menyewa saja ya? Paling Cuma 75 ribu.”


Aku cemberut. “Gak mau..kebaya seperti itu sudah pasaran. Warnanya jelek. Teman-teman Dinda aja beli kebayanya di butik."


“Dinda kamu kan tahu sendiri, penghasilan Mama dari menjahit berapa. Belum lagi adikmu yang sebentar lagi mau masuk SMP..” 


“Kalau saja Papa masih hidup...”  Mataku mulai berair


“Dinda...”


Aku tak berkata apapun lagi. Aku hanya kembali masuk kamar menelungkupkan tubuhku di kasur dengan perasaan sedih dan kecewa. Ku dengar suara langkah Mama mendekatiku dan kurasakan belaian Mama di rambutku sambil berkata lirih.


“Sabar ya Nak, nanti Mama akan usahakan membuat kebaya yang kamu mau.”


3 Hari berlalu. Namun tak ada tanda-tanda Mama menjahitkan kebaya yang aku inginkan. Dan bila aku bertanya Mama selalu manjawab  “sabar ya sayang..”. Aku sudah pasrah dan tidak mau berharap banyak. Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini, terbiasa hidup tanpa seorang ayah, terbiasa hidup pas-pasan.


Untuk mengobati kekecewaanku, aku menginap dirumah Jelita sahabatku. Orang tua Jelita pergi keluar kota dan memintaku menemaninya semalam di rumahnya. Kamar Jelita begitu indah dan luas, berbeda dengan kamarku yang sempit. Dadaku terasa sesak kala Jelita memperlihatkan kebaya yang akan dipakainya di acara kelulusan nanti. Kebaya warna pink begitu indah dan elegan dengan taburan manik-manik. Aku ingin menangis, tapi aku tahan sekuatnya. Aku tak ingin Jelita melihat kesedihanku.


Aku pulang ke rumah pukul 9 pagi. Namun rumah begitu sepi. Biasanya jam segini sudah terdengar suara mesin jahit Mama. Aku membuka pintu dan berjalan perlahan masuk kamarku. Sebuah kebaya warna putih dengan bordir di leher dan pita berwarna pink  tersandar di kursi kamarku. Aku terkejut bukan kepalang. Kebaya itu....kebaya impianku...


Aku berlari mencari Mama. Dika adikku baru saja keluar dari kamar Mama.


“Mama di kamar Kak, badannya panas dan kepalanya pusing.” Kata Dika sambil membawa handuk basah.


Mama sakit?


“Dari kemarin Mama jahit kebaya buat Kakak. Mama pinjam uang ke Tante Sonya buat beli kain kebayanya.”

Jadi Mama...


Tanpa menunggu penjelasan adikku lebih lanjut, aku masuk kamar Mama.


Mama terbaring lemah. Matanya tertutup rapat. Aku mendekatinya dan berbaring disamping Mama. Aku membelai rambut Mama seperti Mama membelai rambutku.  
Maafkan Dinda Ma, Dinda sudah bikin susah Mama...Mama jangan sakit, Dinda rela pakai kebaya sewaan itu atau bahkan tak usah pakai kebaya sama sekali..cukup baju yang ada dilemari saja yang akan Dinda pakai..asal Mama selalu sehat..hanya Mama yang Dinda miliki...


Aku mencium pipi Mama. Lelehan air mataku mengenai wajah Mama. Mama terbangun, membuka matanya. Mama menghapus air mataku.


“Kenapa nangis sayang? Jelek ya, kebaya buatan Mama?”


Aku menggeleng. “Enggak Ma, Bagus sekali...kebaya terindah yang pernah Dinda lihat...”


Mama tersenyum. Matanya terpancar binar bahagia.


“Kamu akan jadi putriku yang tercantik di acara kelulusan nanti.”


Air mataku mengalir tanpa henti. 


“Dan Mama adalah Mama terbaik yang aku punya. Aku cinta Mama...selamanya.. di hidup Mama. “Bisikku.


Dan akupun terbuai dalam rengkuhan pelukan Mama...

 
Note: cerita untuk blog #SabarGan